Rahma: Kisah Anak Durhaka Yang Menemukan Jalan Pulang

Halo! Para pembaca, Kali ini kita akan membahas kisah tentang Rahma ia adalah seorang anak muda yang terjebak dalam kehidupan glamor dan melupakan akar keluarganya. Dalam cerita ini, kita akan mengikuti perjalanan emosionalnya yang penuh dengan penyesalan dan air mata. Mulai dari sikapnya yang durhaka terhadap orang tua hingga saat dia akhirnya menemukan jalan pulang. Cerita ini mengajarkan kita tentang pentingnya keluarga, cinta tanpa syarat, dan makna sejati dari kata ‘rumah.’ Mari simak kisah inspiratif ini dan temukan pesan moral yang mendalam di balik setiap babaknya.

 

Kisah Anak Durhaka Yang Menemukan Jalan Pulang

Kehidupan Gaul

Matahari siang itu menyinari kota dengan cerah, dan aku, seperti biasa, sudah siap untuk berangkat menuju kafe favoritku di pusat kota. Rambut pirangku yang baru saja diwarnai masih terlihat segar, dan aku memastikan makeup-ku sempurna sebelum keluar dari kamar. Ponselku berdering lagi, pesan masuk dari teman-temanku yang sudah menunggu di sana. Aku merasa sangat bersemangat, seolah-olah dunia ini milikku.

Aku, Rahma, adalah sosok yang dikenal di sekolah sebagai anak paling gaul. Dari ujung kepala hingga kaki, semua tentang diriku selalu menarik perhatian. Setiap tren mode yang baru muncul, aku yang pertama mengikutinya. Pakaian, aksesori, sepatu semuanya harus sempurna. Aku suka saat orang-orang memandangku dengan penuh kekaguman, terutama teman-teman sebayaku yang sering kali ingin meniruku.

Setiap harinya, aku menghabiskan waktu dengan mereka. Nongkrong di kafe, tertawa bersama, dan terkadang membicarakan hal-hal yang hanya kami pahami. Aku merasa hidupku begitu sempurna aku punya segalanya. Tapi di balik semua kesenangan itu, ada sesuatu yang perlahan-lahan mulai kurasakan. Sesuatu yang awalnya tak pernah kuhiraukan, tetapi belakangan ini semakin mengusikku.

Setiap kali aku pulang ke rumah, suasananya terasa begitu berbeda. Rumah kecil kami yang dulu penuh kehangatan kini terasa sepi. Aku jarang berbicara dengan ayah dan ibu. Rasanya, mereka tidak mengerti siapa diriku sekarang. Aku sering mendengar mereka berbisik satu sama lain, seakan mereka khawatir tentang sesuatu. Tapi aku selalu berpura-pura tidak peduli. Bukankah aku sudah dewasa? Aku tahu apa yang terbaik untuk hidupku.

“Rahma, kamu bisa bantu ibu di dapur sebentar?” suara lembut ibu memanggilku suatu hari ketika aku sedang bersiap-siap untuk pergi. Aku hanya menoleh sekilas, dengan rasa kesal yang sulit disembunyikan.

“Aku lagi sibuk, Bu. Nanti saja,” jawabku dingin, tanpa menunggu responsnya.

Aku bisa melihat kekecewaan di mata ibu, tapi aku terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri untuk peduli. Bagiku, hal-hal seperti membantu di dapur atau berbicara dengan orang tua adalah hal yang membuang waktu. Aku punya teman-teman, pesta, dan kehidupan luar yang lebih menarik.

Malam itu, setelah pulang dari kafe, aku melihat ayah duduk di ruang tamu dengan wajah lelah. Ia menatapku dengan pandangan yang sulit kuartikan antara kesedihan dan harapan. Aku mencoba mengabaikan tatapannya, tetapi sebelum aku sempat melangkah ke kamar, ayah memanggilku.

“Rahma, bisa kita bicara sebentar?” tanyanya dengan suara pelan.

Aku mendesah pelan. Lagi-lagi mereka ingin bicara. Aku sudah tahu apa yang akan mereka katakan nasihat-nasihat lama yang menurutku tak relevan lagi dengan kehidupan sekarang.

“Bisa nggak nanti aja, Yah? Aku capek,” jawabku sambil berjalan ke kamar.

Namun, sebelum aku bisa menutup pintu, ayah berkata, “Rahma, kami khawatir. Kamu sering pulang larut malam. Teman-temanmu… kehidupanmu… kami hanya ingin yang terbaik untukmu.”

Kata-kata itu menghantamku seperti badai yang datang tiba-tiba. Tapi bukannya merasa tersentuh, aku justru merasa marah. Marah karena mereka tidak mengerti. Marah karena mereka menganggap aku tidak bisa menjaga diriku sendiri.

“Ayah, Ibu, kalian harus paham. Aku nggak anak kecil lagi. Ini hidupku, biar aku yang mengaturnya!” jawabku dengan suara keras. Aku bisa melihat raut wajah ayah berubah, matanya yang dulu penuh ketegasan kini tampak rapuh. Ibu hanya diam di sampingnya, matanya mulai berkaca-kaca.

Namun, saat itu aku tak peduli. Yang ada di pikiranku hanyalah bagaimana caranya agar mereka berhenti mencampuri urusanku. Aku merasa hidupku sudah sempurna tanpa campur tangan mereka.

Waktu terus berjalan, dan aku semakin tenggelam dalam duniamu yang penuh gemerlap. Setiap malam aku keluar dengan teman-temanku, menikmati kebebasan yang kuanggap sebagai hakku. Namun, ada satu hal yang tak kusadari—aku semakin jauh dari orang-orang yang sebenarnya paling peduli padaku. Aku sibuk mengejar popularitas, sementara hubungan dengan keluargaku perlahan-lahan hancur tanpa aku sadari.

Ada suatu malam ketika aku pulang lebih larut dari biasanya. Rumah tampak sepi, hanya ada lampu kecil di ruang tamu yang menyala. Aku melangkah pelan menuju kamar, berharap tidak membangunkan siapa pun. Namun, saat melewati kamar orang tuaku, aku mendengar suara tangis lirih dari dalam. Itu suara ibu.

Aku berhenti sejenak di depan pintu kamar mereka. Hatiku terasa berat, tapi aku tidak punya cukup keberanian untuk mengetuk pintu dan menanyakan apa yang terjadi. Aku berdiri di sana beberapa detik, mendengarkan suara tangis ibu yang semakin membuat hatiku tidak nyaman. Namun, rasa gengsi dan egoku terlalu besar. Akhirnya, aku memilih untuk melanjutkan langkahku ke kamar, berpura-pura tidak mendengar apapun.

Malam itu, aku berbaring di tempat tidur, mencoba tidur. Tapi suara tangis ibu terus terngiang di telingaku. Aku berusaha meyakinkan diriku bahwa itu bukan salahku. Mereka yang terlalu khawatir berlebihan. Namun, di balik semua pembelaan diriku, ada perasaan bersalah yang terus menghantuiku.

Pagi harinya, saat aku bangun, suasana rumah terasa lebih sunyi dari biasanya. Tidak ada suara ibu yang sibuk di dapur, tidak ada senyuman hangat ayah yang biasanya menyambutku di pagi hari. Semua terasa berbeda. Tapi aku, dengan sikap acuhku, mencoba mengabaikan perasaan aneh itu. Aku berpikir, mungkin ini hanya perasaanku saja.

Aku melanjutkan hariku seperti biasa berangkat ke sekolah, bertemu teman-teman, dan menikmati kehidupanku yang penuh kesenangan. Tapi entah mengapa, ada rasa hampa yang perlahan-lahan mulai merasuki hatiku. Setiap kali aku melihat cermin, aku tidak lagi melihat gadis yang bahagia. Yang kulihat hanyalah sosok yang tampak kosong, seolah-olah ada sesuatu yang hilang dari dalam diriku.

Aku mulai bertanya-tanya, apakah kebahagiaan yang kurasakan selama ini benar-benar nyata? Ataukah hanya ilusi yang selama ini kutipu diri sendiri? Namun, aku terus menekan perasaan itu jauh-jauh, berpikir bahwa aku bisa mengabaikannya. Bagaimanapun juga, hidup ini harus terus berjalan, bukan?

Tetapi dalam hatiku, aku tahu bahwa semua ini tidak akan bertahan lama. Dan suatu hari nanti, aku harus menghadapi kenyataan pahit yang selama ini kuabaikan. Kenyataan bahwa kebahagiaan sejati bukanlah tentang popularitas atau kebebasan semata, melainkan tentang cinta dan penghargaan terhadap orang-orang yang paling mencintai kita. Orang tua.

Baca juga:  Cerpen Tentang Taubatnya Preman Sekolah: Kisah Taubatnya Preman

Aku hanya berharap, ketika waktu itu tiba, semuanya belum terlambat…

 

Pertentangan Dengan Orang Tua

Pagi itu, aku bangun dengan perasaan gelisah yang sulit diuraikan. Sudah beberapa hari aku merasa tidak nyaman setiap kali menatap wajah ayah dan ibu. Ada jarak yang semakin lebar di antara kami, dan aku sadar bahwa akulah yang menciptakan jarak itu. Tapi, aku terlalu keras kepala untuk mengakui kesalahan. Aku masih yakin bahwa mereka tidak mengerti dunia yang kini kujalani—dunia yang penuh dengan kebebasan dan pilihan.

Hari itu dimulai dengan ketegangan yang sama seperti hari-hari sebelumnya. Aku turun ke ruang makan, dan ibu sudah menyiapkan sarapan. Ia memanggilku dengan lembut, seperti biasa, tapi aku bisa merasakan nada khawatir di suaranya.

“Rahma, makan dulu, Nak,” katanya sambil menyajikan nasi goreng kesukaanku di meja. Matanya menatapku dengan harapan, seolah-olah ingin memperbaiki sesuatu yang sudah lama retak di antara kami.

Namun, aku hanya menatap piring itu sebentar sebelum menjawab, “Aku nggak lapar, Bu. Ada janji sama teman-teman, nanti aja makan di luar.”

Aku melihat ekspresi ibu berubah. Bibirnya bergetar, tapi ia tidak berkata apa-apa. Ia hanya menunduk, menahan perasaan yang mungkin ingin ia ungkapkan. Di saat itulah, ayah masuk ke ruang makan. Wajahnya yang dulu selalu terlihat tegas kini tampak lelah, mungkin karena beban yang terus ia pikul akibat kelakuanku.

“Rahma, bisa kita bicara sebentar?” tanyanya tanpa basa-basi, suaranya tegas namun terdengar serak.

Aku tahu arah pembicaraan ini. Setiap kali ayah ingin ‘bicara’, itu selalu berarti mereka ingin menasehatiku, memberitahuku betapa aku telah berubah menjadi anak yang sulit diatur. Namun, aku sudah terbiasa dengan rutinitas ini, dan aku menganggapnya tidak lebih dari sekadar omelan yang akan segera berlalu.

“Apalagi, Yah?” jawabku dengan nada datar, hampir tidak tertarik mendengar apa yang akan ia katakan.

Ayah menatapku dalam-dalam, matanya penuh dengan campuran kesedihan dan kekecewaan. “Rahma, kamu tidak bisa terus seperti ini. Kami sangat khawatir dengan pergaulanmu. Kamu sering pulang larut malam, dan kami tidak tahu dengan siapa saja kamu bergaul. Ini bukan tentang kami ingin mengendalikan hidupmu, tapi kami peduli. Kami sayang sama kamu.”

Aku merasa darahku mendidih mendengar kata-kata itu. Sayang? Kalau mereka sayang, seharusnya mereka mendukung apa yang aku lakukan, bukan terus mengkritik dan meremehkan pilihanku.

“Kenapa sih, Ayah dan Ibu selalu mikir negatif? Aku tahu apa yang aku lakuin! Kalian cuma nggak ngerti aja. Ini hidupku, dan aku berhak memilih apa yang aku mau!” jawabku dengan nada yang semakin meninggi.

Ibu, yang duduk di sebelah ayah, mencoba menengahi. “Rahma, ibu dan ayah cuma ingin yang terbaik buat kamu. Dunia luar itu tidak seindah yang kamu pikirkan, Nak. Ibu takut kamu terjerumus ke jalan yang salah.”

Aku menatap ibu dengan dingin. Rasanya, kata-kata mereka sudah tak berarti lagi bagiku. Mereka selalu mengulang hal yang sama, seolah-olah aku tak pernah dewasa. Padahal, aku sudah 18 tahun cukup dewasa untuk mengambil keputusan sendiri, pikirku.

“Salah? Aku nggak salah. Kalian aja yang terlalu protektif. Aku bukan anak kecil lagi!” bentakku, membuat ibu terperanjat dan menatapku dengan mata yang mulai berair.

Ayah kemudian berdiri dari kursinya, suaranya bergetar namun masih mencoba tegas. “Rahma, kamu harus ingat satu hal. Kami ini orang tuamu. Apa pun yang kami lakukan, itu karena kami mencintaimu. Tapi kalau kamu terus-terusan seperti ini, kami tidak tahu harus bagaimana lagi.”

Aku tidak tahu dari mana datangnya keberanian itu, tapi entah kenapa aku merasa ingin memberontak lebih keras lagi. Perasaan marah, frustasi, dan keinginan untuk bebas bercampur aduk menjadi satu.

“Kalau memang kalian nggak suka dengan hidupku, ya sudah! Aku bisa hidup sendiri tanpa perlu diatur-atur lagi!” teriakku, sebelum berlari keluar dari rumah dengan pintu yang kuketuk keras. Di luar, aku bisa mendengar suara ibu memanggil namaku dengan panik, tapi aku terus melangkah tanpa menoleh ke belakang.

Aku berlari tanpa arah, hanya ingin jauh dari rumah itu, jauh dari orang-orang yang menurutku hanya ingin mengendalikan hidupku. Aku merasa marah, bingung, dan entah kenapa, ada rasa sakit yang begitu dalam di hatiku. Tapi aku tak tahu bagaimana menanganinya selain dengan melarikan diri.

Hari-hari berikutnya, aku semakin sering menghabiskan waktu di luar. Pagi, siang, malam, aku selalu bersama teman-temanku, berpesta, tertawa, dan mencoba melupakan kenyataan bahwa di rumah ada orang tua yang mungkin sedang hancur karena ulahku. Aku menenggelamkan diri dalam gemerlap kehidupan kota, mencari kebahagiaan dalam kebebasan yang sebenarnya hanya ilusi.

Namun, seiring berjalannya waktu, aku mulai merasakan ada yang hilang dalam hidupku. Kesenangan itu tidak lagi memberikan kebahagiaan seperti dulu. Setiap kali pulang larut malam dan masuk ke rumah yang gelap, hatiku terasa hampa. Di kamar, aku sering duduk sendirian, memandang foto keluarga yang tergantung di dinding. Foto itu diambil beberapa tahun lalu, saat aku masih menjadi anak yang mereka banggakan—saat aku masih bisa tersenyum dengan tulus di hadapan mereka.

Aku mulai merindukan suara lembut ibu yang membangunkanku setiap pagi, senyuman ayah yang selalu menyemangatiku sebelum berangkat sekolah. Tapi, aku merasa sudah terlalu jauh untuk kembali. Terlalu banyak kata-kata menyakitkan yang sudah keluar dari mulutku, terlalu banyak tindakan durhaka yang sudah kulakukan.

Setiap kali aku mencoba mendekatkan diri kembali pada mereka, rasa malu dan gengsi selalu menghalangi langkahku. Aku takut untuk mengakui kesalahanku, takut melihat raut wajah kecewa mereka yang mungkin lebih menyakitkan daripada yang pernah kurasakan sebelumnya. Dan akhirnya, aku memilih untuk terus menjauh, meskipun dalam hati, aku tahu itu salah.

Suatu malam, ketika aku pulang larut, rumah tampak gelap seperti biasa. Aku membuka pintu pelan-pelan, berharap tidak membangunkan siapa pun. Namun, kali ini berbeda. Ada sesuatu yang mengganjal di hatiku saat aku memasuki rumah.

Di ruang tamu, aku melihat secarik kertas di meja. Surat dari ayah. Aku mengambilnya dengan tangan yang bergetar, dan ketika membacanya, air mataku tak terbendung lagi.

“Rahma, kami tidak tahu harus berkata apa lagi untuk menyadarkanmu. Kami hanya ingin kau tahu bahwa kami selalu mencintaimu, apa pun yang terjadi. Tapi jika kau terus menjauh seperti ini, kami khawatir suatu hari nanti kami tidak akan bisa lagi melindungimu. Hati-hati di luar sana, Nak. Kembalilah ketika kau siap.”

Aku terjatuh di lantai, memeluk surat itu erat-erat. Perasaan bersalah, penyesalan, dan rasa rindu yang tak terbendung menguasai hatiku. Ternyata, selama ini aku hanya menyakiti orang-orang yang paling mencintaiku. Aku menyesal. Tapi, apakah semuanya sudah terlambat?

Baca juga:  Cerpen Tentang Keindahan Alam: Kisah Keberanian Gano di Pegunungan

Di balik kebebasan yang selalu kubanggakan, aku menemukan kenyataan pahit bahwa tanpa cinta dan dukungan orang tua, hidup ini tak berarti apa-apa. Dan malam itu, aku menangis hingga tertidur, berharap besok pagi aku punya keberanian untuk kembali ke pelukan mereka meski aku tahu, semuanya mungkin tak akan sama lagi.

 

Ketika Dunia Terasa Hampa

Hari demi hari berlalu dalam kesendirian yang begitu menyiksa. Setelah pertengkaran hebat itu, aku memutuskan untuk tidak lagi pulang ke rumah. Aku merasa sudah terlalu jauh melangkah untuk kembali. Rasa gengsi dan malu menahanku. Jadi, aku memilih tinggal bersama seorang teman. Aku pikir, berada jauh dari rumah akan memberiku kebebasan yang selama ini aku idam-idamkan. Namun, ternyata aku salah besar.

Setiap pagi, aku bangun dengan perasaan kosong. Ruangan tempatku tinggal ini terasa begitu dingin dan sunyi. Tidak ada lagi suara ibu yang memanggilku lembut, tidak ada lagi aroma masakan yang memenuhi rumah seperti dulu. Yang ada hanya suara gemericik air di kamar mandi, suara langkah kaki temanku yang terburu-buru, dan suara hatiku yang terus menerus berbisik tentang kerinduan yang tidak bisa kusampaikan.

Di luar, aku masih mencoba menunjukkan wajah ceria. Aku tetap pergi ke kampus, berkumpul dengan teman-teman, berpesta, dan tertawa seolah-olah hidupku tidak ada masalah. Namun, di dalam hati, aku hancur. Setiap kali aku pulang larut malam, dan mendapati rumah temanku sepi, ada perasaan sakit yang tak terlukiskan. Aku merindukan rumahku, merindukan keluargaku, tapi aku terlalu keras kepala untuk mengakui itu.

Pagi itu, seperti biasa, aku bangun dan mendapati temanku sudah pergi. Aku duduk di tepi tempat tidur, memandang ponselku yang sepi dari pesan. Tidak ada pesan dari ayah atau ibu. Mereka sudah berhenti mencariku. Mungkin mereka sudah lelah. Atau mungkin mereka sudah menyerah.

Aku memutuskan untuk keluar, menghirup udara segar, berharap bisa mengalihkan pikiranku yang kacau. Aku berjalan tanpa tujuan, menyusuri jalan-jalan yang ramai dengan orang-orang yang sibuk dengan urusan mereka sendiri. Namun, di tengah keramaian itu, aku merasa sendirian. Sangat sendirian.

Aku duduk di sebuah taman, memperhatikan anak-anak yang bermain dengan riangnya. Tawanya yang tulus membuat hatiku semakin perih. Aku teringat masa kecilku, saat ayah sering mengajakku ke taman seperti ini. Dulu, aku adalah anak kecil yang selalu berlari ke pelukan ayah setiap kali jatuh atau terluka. Ayah selalu ada untuk menghiburku, untuk memberiku kekuatan. Tapi kini, aku bahkan tidak berani menatap wajahnya lagi.

Mataku beralih ke seorang ibu yang sedang menyuapi anaknya. Ibu itu tampak sabar, penuh kasih sayang. Aku tersenyum pahit, mengingat bagaimana ibu selalu merawatku dengan cinta yang sama. Aku ingat bagaimana ibu selalu sabar mendengarkan ceritaku, bagaimana ia selalu tahu cara membuatku merasa lebih baik. Tapi sekarang, aku telah menyakiti ibu dengan kata-kataku yang kasar. Aku telah melukai hati orang yang paling mencintaiku di dunia ini.

Air mataku mulai mengalir tanpa bisa aku tahan. Aku menutup wajahku dengan kedua tangan, mencoba menahan isak tangis yang semakin kuat. Tapi semua itu sia-sia. Rasa bersalah, penyesalan, dan kerinduan bercampur menjadi satu, menghantam hatiku dengan keras. Aku merasa begitu bodoh, begitu egois. Kenapa aku harus melawan mereka? Kenapa aku harus menolak cinta yang mereka berikan?

Saat itu, aku merasa ingin kembali. Ingin pulang dan memeluk mereka, meminta maaf atas semua kesalahan yang telah aku lakukan. Tapi aku takut. Takut bahwa mereka sudah tidak mau lagi menerimaku. Takut bahwa semua ini sudah terlambat.

Dengan langkah berat, aku kembali ke tempat temanku. Malam itu, aku tidak bisa tidur. Bayangan wajah ayah dan ibu terus menghantuiku. Aku teringat surat ayah yang kutemukan di rumah, kata-kata yang begitu tulus dan penuh cinta, meski aku telah menyakiti mereka. Aku teringat tatapan ibu yang penuh harapan saat menyajikan sarapan untukku. Mereka hanya ingin yang terbaik untukku, tapi aku malah membalasnya dengan kebencian dan kemarahan.

Malam itu, aku duduk di tepi tempat tidur, memegang ponselku erat-erat. Aku ingin sekali menghubungi mereka, tapi jari-jariku terlalu gemetar untuk menekan tombol. Aku ragu. Apa yang akan mereka katakan? Apakah mereka akan memaafkanku? Atau apakah mereka akan mengabaikanku, seperti aku mengabaikan mereka?

Akhirnya, dengan napas yang tertahan, aku memberanikan diri mengirim pesan singkat. “Ibu, Ayah, maafkan aku…” Hanya itu yang bisa aku tulis. Hanya tiga kata itu yang mampu mewakili semua perasaanku. Aku menunggu dengan cemas, berharap ada balasan. Tapi menit demi menit berlalu tanpa ada respon. Hatiku semakin tenggelam dalam penyesalan. Mungkin benar, mereka sudah tidak peduli lagi padaku.

Namun, di tengah kepasrahan itu, ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk. Dengan tangan gemetar, aku membuka pesan itu. Ternyata dari ibu. Hanya satu kalimat singkat, tapi cukup untuk membuat air mataku kembali mengalir.

“Kembalilah, Nak. Kami selalu menunggumu.”

Kalimat itu menghantam hatiku seperti gelombang besar. Semua perasaan yang selama ini kutahan tumpah seketika. Aku menangis tersedu-sedu, merasakan betapa dalamnya cinta mereka padaku, meskipun aku telah melukai mereka berkali-kali. Aku merasa begitu hina, begitu tidak layak mendapatkan cinta itu. Tapi aku tahu, mereka tulus. Mereka tidak pernah berhenti mencintaiku, meskipun aku telah berubah menjadi anak yang durhaka.

Malam itu, aku memutuskan untuk pulang. Aku tahu, mungkin tidak semua hal bisa kembali seperti semula. Tapi setidaknya, aku ingin memperbaiki kesalahan yang telah aku perbuat. Aku ingin meminta maaf, ingin menunjukkan bahwa aku masih peduli, dan aku masih mencintai mereka. Aku hanya berharap, mereka bisa menerimaku kembali, meskipun aku tahu, itu tidak akan mudah.

Dan dengan tekad itu, aku memulai perjalanan pulang. Pulang ke rumah yang pernah aku tinggalkan. Pulang ke orang tua yang tidak pernah berhenti menungguku, meskipun aku telah mengecewakan mereka berkali-kali. Pulang untuk memulai kembali dari awal, dengan hati yang penuh penyesalan, dan harapan untuk mendapatkan maaf mereka.

 

Maaf Yang Tak Terucap

Pagi itu, aku berdiri di depan rumah yang dulu begitu akrab bagiku. Rumah yang kini terasa asing dan jauh, meskipun hanya beberapa langkah di hadapanku. Gerbang besi itu masih sama, dengan cat yang sedikit mengelupas di beberapa bagian. Tapi, ada sesuatu yang berbeda. Mungkin bukan rumah ini yang berubah, tapi aku. Atau mungkin perasaanku yang kini dipenuhi oleh rasa bersalah dan penyesalan yang mendalam.

Langkahku terasa berat. Setiap langkah yang aku ambil mendekati pintu rumah ini seolah menarik kembali kenangan-kenangan pahit yang ingin aku lupakan. Namun, kini, aku tahu bahwa aku harus menghadapi semua itu. Tidak ada lagi jalan untuk lari. Di balik pintu ini, ada dua orang yang paling berharga dalam hidupku. Orang yang telah aku sakiti tanpa alasan yang jelas. Dan kali ini, aku harus berani meminta maaf.

Baca juga:  Cerpen Tentang Sahabat Sekolah: Kisah Persahabatan Saling Memahami

Dengan tangan gemetar, aku mengetuk pintu. Suara ketukan itu menggema di hatiku, seolah-olah mempertegas betapa jauhnya jarak yang telah aku ciptakan antara aku dan keluargaku. Aku menunggu, jantungku berdetak kencang. Rasanya seperti menunggu vonis di ruang sidang, tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Tak lama kemudian, pintu itu terbuka. Ibu berdiri di ambang pintu, wajahnya terlihat lebih tua dari terakhir kali aku melihatnya. Garis-garis halus di sekitar matanya semakin dalam, dan rambutnya tampak lebih beruban. Namun, di balik semua itu, matanya masih memancarkan kelembutan yang sama. Matanya yang kini dipenuhi kelelahan dan kerinduan, membuat hatiku semakin hancur.

“Ibu…” suaraku serak, hampir tidak terdengar. Aku ingin memeluknya, tapi ada rasa malu yang menahanku. Aku merasa tidak layak untuk menerima pelukan itu. Ibu hanya diam, menatapku dengan tatapan yang sulit aku baca. Aku tidak tahu apa yang ia pikirkan saat melihatku di depan pintu, anak yang pernah meninggalkan rumah ini dengan penuh kemarahan.

Kemudian, tanpa sepatah kata pun, ibu melangkah mundur, membuka pintu lebih lebar. Dia tidak mengucapkan selamat datang, tapi dia juga tidak mengusirku. Aku tahu, ini adalah caranya memberiku kesempatan. Dengan hati-hati, aku melangkah masuk ke dalam rumah. Aroma rumah yang hangat, campuran dari kayu dan rempah-rempah, langsung menyerang indra penciumanku. Aroma yang begitu akrab namun kini terasa asing setelah sekian lama.

Aku menoleh ke ruang tamu, dan di sana, ayah duduk di kursi favoritnya, memandang lurus ke depan tanpa bicara. Wajahnya yang dulu penuh semangat kini tampak pucat dan lelah. Dia tidak melihatku ketika aku masuk, hanya menatap kosong ke arah dinding. Namun, aku tahu dia menyadari kehadiranku. Hati kecilku meronta ingin mendekatinya, ingin berlutut di depannya dan meminta maaf. Tapi kaki ini terlalu berat untuk digerakkan.

“Ibu, aku…” Aku mencoba berbicara, tapi kata-kataku terhenti. Tidak ada kata-kata yang terasa cukup untuk mengungkapkan semua penyesalanku. Bagaimana aku bisa meminta maaf atas semua yang telah aku lakukan? Bagaimana aku bisa membayar semua luka yang telah aku ciptakan di hati mereka?

Ibu akhirnya berbicara, suaranya tenang, namun terasa berat di telingaku. “Kamu sudah makan, Nak?” Itu adalah pertanyaan sederhana, tapi di baliknya, ada ribuan pertanyaan yang tidak terucap. Bagaimana kabarmu? Mengapa kamu pergi begitu lama? Apakah kamu baik-baik saja? Pertanyaan-pertanyaan itu semua tersirat dalam satu kalimat sederhana itu.

Aku mengangguk pelan, meskipun sebenarnya perutku terasa kosong. Rasa lapar tidak lagi terasa penting. Apa yang lebih penting bagiku sekarang adalah bagaimana caranya aku bisa menyampaikan semua perasaan ini kepada mereka. Bagaimana aku bisa meminta mereka untuk memaafkanku, meskipun aku tahu aku tidak pantas mendapatkannya.

Ayah akhirnya berdiri dari kursinya, berjalan perlahan ke arahku. Langkahnya tampak lebih berat, mungkin karena usia atau mungkin karena rasa sakit yang aku ciptakan. Dia berhenti beberapa langkah dariku, menatapku dalam-dalam. Matanya yang dulu penuh dengan kebanggaan dan kasih sayang kini tampak redup. Tapi aku masih bisa merasakan cinta itu di sana, meskipun tertutupi oleh lapisan kecewa.

“Kamu pulang, Rahma?” suaranya serak, seperti suara yang datang dari kedalaman hatinya yang paling dalam. Aku hanya bisa mengangguk lagi, tidak mampu menemukan kata-kata untuk menjawabnya.

Aku ingin mengatakan banyak hal. Aku ingin menceritakan semua kesalahan yang telah aku buat, semua hal bodoh yang telah aku lakukan, dan betapa aku menyesalinya. Tapi semua kata-kata itu tersangkut di tenggorokanku, tercekik oleh rasa bersalah yang begitu besar. Aku hanya bisa berdiri di sana, dengan air mata yang mengalir tanpa bisa aku hentikan.

Kemudian, tanpa aku duga, ayah merentangkan tangannya, dan dalam sekejap, aku berada dalam pelukannya. Pelukan yang hangat dan kuat, meskipun tubuhnya kini lebih kurus dari yang aku ingat. Di pelukan itu, semua rasa sakit, semua penyesalan, semua ketakutan menguap seketika. Yang tersisa hanyalah cinta. Cinta yang selalu ada, meskipun aku telah melakukan kesalahan sebesar apa pun.

“Ayah, aku… maafkan aku…” Aku akhirnya berhasil mengucapkan kata-kata itu, meskipun terdengar terputus-putus oleh isak tangisku. Ayah mengelus punggungku, seperti yang selalu dia lakukan saat aku masih kecil. Tanpa kata-kata, dia memberitahuku bahwa aku dimaafkan. Bahwa aku masih diterima. Bahwa cintanya tidak pernah berubah, meskipun aku telah berubah.

Ibu datang mendekat, dan aku merasakan tangannya yang hangat menyentuh bahuku. Aku berbalik, dan kami bertiga akhirnya berdiri dalam lingkaran cinta yang tak pernah putus. Tidak ada kata-kata yang diperlukan lagi. Hanya ada keheningan yang penuh dengan pengertian dan penerimaan.

Di saat itu, aku tahu bahwa meskipun aku tidak bisa menghapus semua kesalahan yang telah aku perbuat, aku bisa memulai dari awal. Aku bisa mencoba menjadi anak yang lebih baik, mencoba menebus semua yang telah aku rusak. Dan yang paling penting, aku bisa mencoba mencintai mereka dengan sepenuh hati, seperti mereka mencintaiku, tanpa syarat.

Hari itu, aku merasa dunia ini kembali berwarna. Rumah ini kembali terasa seperti rumah, bukan hanya sebuah bangunan yang aku tinggali. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa tenang. Aku tahu bahwa aku telah menemukan jalan pulang, dan bahwa keluarga ini, keluarga yang aku anggap remeh, adalah hal yang paling berharga dalam hidupku.

Malam itu, saat kami duduk bersama di meja makan, aku memandangi wajah ayah dan ibu dengan perasaan syukur yang mendalam. Aku tahu bahwa perjalanan untuk memulihkan hubungan ini masih panjang, tapi aku siap untuk melaluinya. Karena kini aku tahu, tidak ada yang lebih penting daripada keluarga. Dan aku tidak akan pernah lagi membiarkan apapun menghalangiku untuk mencintai mereka.

 

 

Rahma menyadari bahwa meskipun waktu tidak bisa diputar kembali, cinta dan pengampunan selalu ada bagi mereka yang tulus meminta maaf. Dengan langkah baru dan hati yang dipenuhi tekad, dia berjanji untuk memperbaiki setiap kesalahan, menghargai setiap momen bersama keluarga, dan menjadi anak yang lebih baik. Rumah, yang pernah terasa begitu asing, kini kembali menjadi tempat di mana ia menemukan damai. Dan di sanalah, bersama orang tua yang selalu mencintainya tanpa syarat, Rahma memulai babak baru dalam hidupnya babak yang penuh dengan cinta, pengertian, dan harapan. Semoga dari kisah rahma bisa menjadi pelajaran untuk kita semua, Terimakasih telah membaca cerita ini dan samapai jumpa di cerita seru berikutnya.

Leave a Comment