Kehampaan Di Balik Kilauan: Kisah Anak Muda Yang Terjebak Dalam Gaya Hidup Mewah

Hai! Sobat pembaca! Apakah kehidupan mewah selalu membawa kebahagiaan? Cerpen Kehampaan di Balik Kilauan mengisahkan tentang seorang wanita muda bernama Dian yang terjebak dalam gemerlap gaya hidup mewah. Dari pesta glamor hingga mobil sport mewah, Dian memiliki segalanya kecuali kebahagiaan sejati. Cerita ini menyajikan sebuah cerita penuh emosi tentang pencarian arti kebahagiaan di tengah kesibukan hidup yang tampaknya sempurna. Temukan bagaimana kilauan kemewahan justru menyembunyikan kehampaan yang mendalam.

 

Kisah Anak Muda Yang Terjebak Dalam Gaya Hidup Mewah

Si Gaul Dengan Gaya Hidup Mewah

Aku, Dian Putri Saraswati, hidup di dunia yang mungkin bagi sebagian besar orang hanya ada dalam mimpi. Bagaimana tidak? Setiap harinya, aku bangun di kamar yang bisa dibilang lebih besar dari apartemen kebanyakan orang. Tempat tidurku empuk, dihiasi bantal-bantal bulu angsa, dan ada lampu kristal yang menggantung di langit-langit, memancarkan cahaya lembut setiap kali aku membuka mata. Aku selalu bangun dengan senyum di wajahku. Siapa yang tidak akan bahagia ketika setiap hari dimulai dengan sentuhan kemewahan?

Ponsel terbaruku yang mungkin masih belum banyak beredar di pasaran selalu bergetar penuh notifikasi saat aku membuka mata. Pesan-pesan dari teman-teman, undangan pesta, dan tentu saja, likes serta komentar dari ribuan pengikutku di Instagram yang selalu memuji gaya hidupku. “You’re so lucky!” “Can’t believe how perfect your life is!” Komentar-komentar seperti itu sudah biasa bagiku, tapi aku tak pernah bosan membacanya.

“Dian, sarapan sudah siap, Sayang,” suara Mbak Wati, asisten rumah tangga keluargaku, terdengar lembut di pintu kamarku. Aku hanya mengangguk sambil memeriksa ponselku lagi. Mbak Wati tahu bahwa aku tak pernah terburu-buru, karena hidupku berjalan dengan ritme yang kuatur sendiri.

Langkahku ringan saat aku menuju ruang makan. Di meja, sudah tersaji sarapan lengkap roti panggang dengan alpukat, salmon asap, dan smoothie mangga segar. Aku sering merasa, hidupku seperti adegan dalam film. Di rumah ini, segalanya selalu tersedia tanpa aku perlu berpikir dua kali. Bahkan, aku sering merasa terlalu dimanja. Tapi, siapa yang peduli? Bukankah aku pantas mendapatkan semua ini?

Ketika aku selesai sarapan, aku langsung bersiap-siap. Aku selalu memikirkan setiap detail penampilanku. Dari atas kepala hingga ujung kaki, semuanya harus sempurna. Pagi itu, aku memilih blouse putih dengan bordir halus dari salah satu merek fashion internasional. Sepatu hak tinggi favoritku melengkapi penampilan, dan tentu saja, tas keluaran terbaru yang baru aku beli beberapa hari lalu. Tas itu bukan sekadar aksesoris bagiku, tapi simbol status. Tas yang hanya bisa dimiliki oleh orang-orang dengan selera tinggi dan, tentu saja, kekayaan yang melimpah.

“Dian, hari ini mau ke mana?” tanya Mamaku saat aku keluar rumah. Mama selalu sibuk dengan urusan sosialitanya, tapi pagi itu ia kebetulan sedang di rumah. Wajahnya tersenyum lembut, meskipun matanya lebih sering fokus pada layar ponselnya yang menampilkan undangan acara fashion.

“Ada rencana hangout sama teman-teman di mal, Ma,” jawabku sambil mengecek ponsel lagi.

“Oke, hati-hati ya. Jangan lupa mampir ke butik Gucci, Mama ada pesan barang, nanti sekalian kamu ambil,” ujarnya santai.

Aku hanya tersenyum. Hidupku memang penuh dengan momen-momen seperti ini. Masuk ke butik-butik mewah sudah seperti rutinitas. Aku sering kali merasa seperti ratu, semua pegawai butik selalu menyambutku dengan senyum ramah, siap melayani apapun yang kubutuhkan.

Saat tiba di mal, aku langsung menjadi pusat perhatian. Orang-orang menatapku, beberapa dari mereka mungkin berbisik-bisik, membicarakan betapa sempurnanya penampilanku. Aku tak bisa menyembunyikan rasa puas di hatiku. Setiap langkah yang kuambil terasa seolah aku berjalan di atas catwalk. Teman-temanku, Fira, Rara, dan Lia, sudah menungguku di kafe favorit kami.

“Kamu makin keren aja, Dian! Tas itu baru kan?” kata Rara, matanya tertuju pada tas yang kugantung di lenganku.

Aku tersenyum bangga. “Iya dong, limited edition. Aku harus nunggu tiga bulan buat dapat tas ini.” Sebenarnya, aku tidak perlu menunggu selama itu. Orang tuaku punya koneksi, dan mereka memastikan aku dapat barang ini lebih cepat daripada yang lain.

“Kamu emang beda, Di,” ujar Lia sambil mengagumi tas itu.

Aku tahu, teman-temanku selalu memandangku sebagai seseorang yang istimewa. Dan, jujur saja, aku menikmatinya. Di antara mereka, aku yang paling kaya, paling populer, dan paling sering menjadi pusat perhatian. Kadang, aku merasa seperti selebriti di antara orang-orang biasa. Mereka semua baik, tapi tak ada yang bisa menyamai gaya hidupku. Dan aku tidak pernah merasa malu untuk menunjukkannya.

Setelah selesai di kafe, kami pergi berbelanja. Seperti biasa, aku tak pernah pergi dari satu butik tanpa membeli sesuatu. Sepatu, pakaian, tas, apa pun yang tampak menarik di mataku, langsung kumasukkan ke daftar belanjaanku. Teman-temanku mengikuti, meski aku tahu mereka tidak bisa belanja sebanyak diriku. Tapi, itu bukan masalah bagiku. Bagiku, ini sudah menjadi gaya hidup yang tak tergantikan.

Sore itu, setelah lelah berkeliling mal, kami memutuskan untuk makan di restoran mewah. Kami duduk di meja yang paling strategis, menghadap jendela besar yang memperlihatkan pemandangan kota. Hidangan-hidangan eksklusif pun datang ke meja kami.

“Dian, aku kadang mikir, hidup kamu itu kayak mimpi,” kata Fira sambil menyeruput minuman koktailnya. “Semua orang pengen ada di posisi kamu. Punya semua yang kamu mau, bisa belanja tanpa mikirin uang, dan selalu jadi pusat perhatian.”

Aku hanya tertawa kecil. Aku tahu betul apa yang Fira maksud, dan ya, aku tak bisa menyangkalnya. Hidupku memang seperti mimpi bagi banyak orang. Segala yang kuinginkan, selalu bisa kudapatkan dengan mudah. Tapi, entah mengapa, di balik kemewahan itu, aku terkadang merasa aneh. Seperti ada sesuatu yang hilang.

Namun, pikiran itu cepat hilang begitu aku melihat sekeliling. Orang-orang memandang kami dengan rasa kagum, dan beberapa di antaranya jelas-jelas iri. Aku merasa puas. Bagi mereka, aku adalah gambaran sempurna tentang kesuksesan, tentang bagaimana hidup seharusnya dijalani.

“Ya, aku memang beruntung,” kataku akhirnya, sambil tersenyum kepada teman-temanku. Tapi, jauh di dalam hati, aku bertanya-tanya, apakah benar semua ini cukup untuk membuatku benar-benar bahagia?

Hari itu, aku pulang ke rumah dengan banyak barang belanjaan di tanganku dan pujian di telingaku. Namun, saat aku tiba di kamar besar itu lagi, kesepian kembali menghampiriku. Tapi, sekali lagi, aku menghibur diri dengan kenyataan bahwa aku punya segalanya. Dan untuk saat ini, itu sudah cukup.

 

Di Balik Popularitas Dan Kemewahan

Aku, Dian, telah menjalani kehidupan penuh kemewahan sejak kecil. Semuanya ada dalam genggamanku pakaian, perhiasan, dan teman-teman yang mengelilingiku seperti pengikut setia. Hidupku sempurna, setidaknya dari luar. Tapi siapa yang peduli tentang apa yang ada di dalam? Selama aku memiliki penampilan glamor, semua orang akan memujiku, bukan?

Baca juga:  Cerpen Tentang Sejarah Jepang: Kisah Seru dari Sejarah Jepang

Hari itu aku baru saja pulang dari acara peluncuran koleksi fashion terbaru. Acara itu eksklusif, hanya untuk kalangan terbatas. Aku selalu berada di daftar undangan, duduk di barisan depan bersama nama-nama besar lain dalam dunia sosialita. Saat para model melenggang di catwalk, aku tak bisa menahan diri untuk memandang bangga tas desainer yang bertengger di pangkuanku. Tas itu hanya diproduksi sepuluh buah di seluruh dunia, dan aku adalah salah satu yang beruntung memilikinya. Teman-temanku tak henti-hentinya memuji bagaimana aku selalu lebih dulu memiliki barang-barang yang mereka impikan.

“Dian, serius, gimana caranya kamu bisa selalu dapat barang-barang limited edition kayak gitu?” Fira bertanya, dengan nada iri yang jelas terdengar di suaranya.

Aku hanya tersenyum. “Yah, kamu tahu kan? Aku punya koneksi. Lagipula, nggak semua orang bisa beli barang ini bahkan kalau punya uang sekalipun,” jawabku santai, tapi dalam hati aku menikmati setiap kata yang keluar dari mulutku.

Percakapan itu terus berlanjut sepanjang acara. Aku selalu menjadi pusat perhatian di antara teman-temanku. Mereka selalu menatapku dengan kekaguman, seolah aku adalah standar kehidupan yang sempurna. Sebenarnya, aku menikmati posisi itu, bahkan lebih dari yang aku sadari. Bagiku, pujian dan iri hati orang lain adalah bahan bakar yang membuatku terus merasa istimewa.

Namun, ketika aku kembali ke rumah setelah acara itu, sebuah perasaan aneh menghampiriku. Aku membuka pintu kamarku yang besar, lampu-lampu kristal berkilauan, dan deretan pakaian mahal tersusun rapi di lemari. Segala sesuatu tampak sempurna. Tapi entah kenapa, ruangan yang begitu mewah ini terasa kosong. Aku melemparkan tas desainerku ke atas tempat tidur dan langsung berbaring di sana, memandangi langit-langit yang berhiaskan lampu gantung.

Seharusnya aku merasa puas. Bukankah ini yang semua orang inginkan? Kemewahan, perhatian, kekaguman semua ada padaku. Aku bisa mendapatkan apapun yang kumau tanpa perlu berpikir dua kali. Tapi, semakin lama aku memandang sekeliling, semakin jelas kurasakan betapa sepi sebenarnya hidupku.

Satu hal yang tak pernah kukatakan kepada siapapun adalah betapa kesepiannya hidup di puncak ini. Teman-temanku selalu hadir di sekitar saat aku mengajak mereka belanja atau makan di restoran mahal. Namun, di saat-saat seperti ini, ketika aku sendirian di rumah yang terlalu besar, tak ada satu pun dari mereka yang benar-benar ada untukku. Mereka hanya hadir ketika ada sesuatu yang bisa mereka nikmati kemewahan, pesta, gaya hidup. Aku mulai berpikir, apakah mereka benar-benar teman?

Aku bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke cermin besar di sudut kamarku. Di sana, pantulan wajahku tampak sempurna rambut panjangku yang baru saja dikeriting dengan gaya yang begitu mahal, riasan yang tak pernah kurang dari sempurna. Tapi mataku… mereka tampak kosong. Di balik segala kilauan kemewahan ini, ada sesuatu yang hilang.

Ponselku berbunyi, membuyarkan pikiranku. Sebuah pesan dari Rara muncul di layar.

“Dian, besok ada pesta di rooftop, mau ikut?” tulisnya.

Aku menghela napas panjang. Pesta lagi. Dari luar, mungkin tampak menyenangkan pesta-pesta mewah dengan orang-orang ternama, ditemani koktail mahal dan pemandangan kota yang menakjubkan. Tapi bagiku, pesta itu semua terasa sama. Hanya ajang pamer, ajang untuk menunjukkan siapa yang paling kaya, paling cantik, paling gaul. Tak ada kebahagiaan yang tulus, hanya kepalsuan yang tersembunyi di balik tawa dan percakapan basa-basi.

Namun, aku tak bisa menolak. Kehidupan yang telah kupilih adalah seperti roda besar yang terus berputar, dan jika aku berhenti, aku akan jatuh tertinggal. Popularitas itu tidak boleh hilang. “Tentu saja, aku akan datang,” balasku singkat.

Aku memutuskan untuk bersiap lebih awal. Pesta di rooftop selalu membutuhkan penampilan yang sempurna. Aku membuka lemari yang penuh dengan gaun-gaun mahal, memilih satu yang paling mencolok. Gaun itu berwarna merah, dengan potongan yang berani dan detail payet yang berkilau. Ini akan membuat semua orang menatapku sepanjang malam, itu pasti. Sepatu hak tinggi dari desainer ternama melengkapi penampilan. Di cermin, aku tampak seperti diva, sempurna dalam segala hal.

Saat tiba di pesta, seperti yang sudah kuduga, semua mata tertuju padaku. Para tamu, sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang juga hidup dalam lingkaran sosial yang sama, menyapaku dengan senyum dan pujian. “Dian, kamu selalu tampil paling memukau,” kata seorang wanita yang aku bahkan tidak begitu kenal. Aku hanya tersenyum tipis. Pujian-pujian itu sudah terlalu biasa bagiku.

Pesta berlangsung seperti biasanya. Musik, minuman, obrolan kosong tentang siapa yang membeli barang apa, siapa yang pergi ke mana untuk liburan. Aku mendengarkan, tapi pikiranku melayang. Di tengah semua keglamoran ini, aku merasa terjebak dalam dunia yang tak lagi terasa nyata.

Tiba-tiba, aku melihat Rina, teman SMA yang sudah lama tak kulihat. Dia tak pernah menjadi bagian dari lingkaran sosialku. Kehidupannya sederhana, bahkan bisa dibilang sangat jauh dari apa yang aku jalani sekarang. Tapi, melihatnya tersenyum dengan wajah yang tulus saat berbincang dengan temannya, ada sesuatu yang menusuk dalam hati.

“Dian!” Rina menghampiriku dengan senyum lebar, seolah kami tak pernah berjarak. “Kamu kelihatan luar biasa! Udah lama banget nggak ketemu.”

Aku mengangguk, sedikit terkejut dengan kehadirannya di pesta ini. “Iya, lama banget. Kamu ngapain di sini?”

“Oh, aku diajak temanku. Cuma mampir sebentar,” jawabnya dengan ringan. Tidak ada nada iri atau kepalsuan di suaranya. Dia tampak benar-benar bahagia, meskipun tidak mengenakan pakaian mahal seperti tamu lainnya.

“Kamu terlihat… berbeda,” kataku, mencoba mencari tahu apa yang membuatnya begitu tenang dan damai, sesuatu yang sepertinya hilang dari hidupku.

“Ya, aku hidup sederhana, tapi aku bahagia, Dian. Kadang kebahagiaan nggak tergantung sama barang-barang mewah,” katanya dengan senyum kecil, lalu berlalu pergi.

Kata-kata Rina terus terngiang di pikiranku sepanjang malam. Kebahagiaan tidak tergantung pada kemewahan? Apakah itu benar? Di dunia yang selama ini aku jalani, kemewahan adalah segalanya. Tapi, mengapa aku tidak merasakan kebahagiaan yang tulus seperti yang dimiliki Rina?

Malam itu, aku pulang ke rumah dengan perasaan yang berat. Gaun mahal yang kukenakan terasa sesak, dan sepatu hak tinggiku yang indah terasa berat di kaki. Di balik semua itu, aku merasa lebih kosong dari sebelumnya. Mungkin ada sesuatu yang selama ini terlewat dalam hidupku, sesuatu yang bahkan tidak bisa kubeli dengan uang.

 

Terjebak Dalam Dunia Palsu

Aku bangun dengan mata sedikit bengkak pagi itu. Semalam aku tak bisa tidur nyenyak, pikiranku terus terjebak dalam percakapan singkat dengan Rina di pesta rooftop. Ucapannya tentang kebahagiaan yang tak tergantung pada kemewahan mengganggu pikiranku, meski aku tak mau mengakuinya. Bagaimana mungkin seseorang yang hidup tanpa segala keindahan, perhiasan, dan koneksi bisa merasa lebih bahagia daripada aku?

Baca juga:  Cerpen Tentang Realisasi: Kisah Remaja Mewujudkan Rencananya

Aku mengalihkan pikiranku pada rencana hari itu. Jadwalku penuh brunch di hotel bintang lima, fitting gaun terbaru, lalu menghadiri gala dinner amal di malam hari. Kehidupanku selalu berputar di antara pesta dan kemewahan, dan aku tak punya waktu untuk mempertanyakan apakah ada hal lain yang lebih berarti dari itu.

Brunch pagi itu berlangsung di sebuah hotel mewah dengan pemandangan kota yang menakjubkan. Aku duduk di meja yang dikelilingi oleh teman-teman yang juga merupakan bagian dari dunia glamor yang sama. Mereka membicarakan hal-hal yang biasa perjalanan eksotis mereka ke Eropa, tas terbaru yang baru saja mereka pesan dari Paris, dan rencana pesta berikutnya. Aku mendengarkan sambil sesekali mengangguk, mencoba tampak tertarik. Padahal, jujur saja, semua percakapan ini mulai terdengar membosankan bagiku.

“Dian, kamu mau pesan apa? Caviar-nya di sini enak banget!” Fira berkata dengan semangat, sambil menunjuk menu yang harganya setara dengan gaji bulanan sebagian besar orang.

Aku hanya tersenyum kecil. “Iya, aku pesan itu juga,” jawabku. Rasanya aku sudah kebal dengan harga-harga yang melambung tinggi. Caviar, truffle, wagyu itu semua hanya makanan biasa di kehidupanku. Tak ada lagi rasa antusiasme atau keistimewaan seperti dulu, ketika aku pertama kali merasakan kemewahan ini.

Saat makanan dihidangkan, seperti biasa, kami semua sibuk memotret makanan kami untuk dipamerkan di media sosial. Ada semacam kewajiban tak tertulis di antara kami untuk selalu menunjukkan betapa mewahnya hidup kami. Foto-foto di Instagram adalah bukti nyata bahwa kami menjalani kehidupan yang diimpikan banyak orang. Tapi di balik layar ponsel itu, ada kenyataan yang berbeda.

Aku mulai merasa seolah aku hidup dalam dunia yang palsu dunia di mana penampilan adalah segalanya. Kami semua berpura-pura bahagia dan sukses, meskipun mungkin di dalam hati, ada kekosongan yang tak terisi. Tapi siapa yang akan mengakuinya? Di dunia ini, mengakui kelemahan adalah tanda kekalahan. Jadi kami terus tersenyum, berpesta, dan saling memuji satu sama lain, meski kami tahu bahwa itu hanyalah ilusi.

Setelah brunch, aku pergi ke butik desainer terkenal untuk fitting gaun yang akan kukenakan malam ini. Gaun itu dibuat khusus untukku, dengan detail kristal yang berkilauan dan potongan yang sempurna membalut tubuhku. “Ini adalah salah satu desain terbaik kami, Nona Dian. Anda pasti akan menjadi pusat perhatian di gala malam nanti,” kata desainer itu sambil tersenyum puas melihat karyanya.

Aku menatap pantulan diriku di cermin, tubuhku dibalut gaun mewah yang pastinya akan membuat semua orang di gala terpesona. Tapi aku tidak bisa merasa bangga. Gaun ini hanyalah satu lagi dari ratusan yang telah kumiliki. Hanya satu lagi item yang akan memenuhi lemariku yang sudah terlalu penuh dengan pakaian yang jarang kupakai. Namun, aku tahu bahwa di gala nanti, aku harus tampil sempurna. Di dunia ini, kesempurnaan adalah keharusan. Jika aku tak tampil memukau, reputasiku bisa hancur.

Sepanjang hari, aku menghabiskan waktu berpindah dari satu kegiatan mewah ke kegiatan lainnya. Dari butik ke salon kecantikan, dari salon ke toko perhiasan untuk meminjam berlian yang akan melengkapi penampilanku. Hari-hariku diisi dengan rutinitas ini, dan meskipun aku tahu banyak orang akan iri, aku mulai merasa lelah. Semua ini seolah-olah tak ada akhirnya, dan aku mulai bertanya-tanya: apa yang sebenarnya aku kejar?

Malam tiba, dan aku bersiap-siap untuk gala dinner amal yang digelar di ballroom hotel termewah di kota. Sesampainya di sana, aku disambut dengan karpet merah dan kilatan kamera para fotografer. Teman-temanku satu per satu tiba dengan penampilan yang tak kalah mewah. Kami bersalaman dengan para tamu, berbincang dengan bahasa yang manis, dan menampilkan senyum terbaik kami. Namun, di antara semua keglamoran itu, aku merasa asing di tengah keramaian.

Sambil memegang segelas sampanye, aku berkeliling ruangan, mendengarkan percakapan di sekitarku. Satu pasangan membahas bagaimana mereka baru saja membeli vila di Bali, sementara yang lain membicarakan koleksi seni mereka yang bernilai jutaan dolar. Aku mendengarkan semua itu dengan senyum tipis di wajahku, tetapi dalam hati aku merasa jenuh. Apa semua ini benar-benar penting?

Saat makan malam dimulai, aku duduk di meja utama, di mana aku dikelilingi oleh para pebisnis, selebriti, dan sosialita lainnya. Makanan yang disajikan adalah yang terbaik hidangan gourmet yang disiapkan oleh chef bintang lima. Aku menyantapnya dengan anggun, mengikuti etiket yang sudah melekat dalam hidupku. Tapi rasa makanannya tak terasa istimewa. Di pikiranku, aku kembali teringat percakapan singkat dengan Rina, bagaimana dia merasa bahagia dengan kehidupannya yang sederhana.

Sejenak aku memandang sekeliling meja. Semua orang tampak bahagia di permukaan tertawa, berbincang, memuji satu sama lain. Tapi aku mulai melihat sesuatu yang berbeda. Di balik senyuman mereka, ada kebosanan yang sama seperti yang kurasakan. Kami semua berpura-pura menikmati hidup ini, tetapi di dalam hati, mungkin kami semua terjebak dalam permainan yang sama. Permainan di mana kemewahan dan status sosial adalah segalanya, meskipun mungkin, jauh di dalam diri kami, kami menginginkan sesuatu yang lebih nyata.

Selesai gala, aku pulang dengan perasaan hampa. Semua kemewahan ini, semua perhatian yang kuterima, rasanya tak lagi cukup. Hidupku tampak sempurna dari luar, tetapi di dalam, ada kekosongan yang semakin sulit untuk diabaikan. Aku terperangkap dalam dunia yang penuh kepalsuan, dan semakin lama, aku semakin sulit bernapas di dalamnya.

Aku terbaring di tempat tidurku, memandang langit-langit kamarku yang dihiasi lampu kristal yang berkilauan. Sekali lagi, aku merasa bahwa ruangan ini terlalu besar, terlalu kosong. Aku mulai mempertanyakan segalanya apakah ini hidup yang benar-benar aku inginkan? Aku memiliki segalanya, tetapi mengapa aku merasa tidak memiliki apa-apa?

Malam itu, aku menangis dalam kesendirian. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku membiarkan diriku merasakan emosi yang selama ini kutekan. Aku menangis bukan karena kekurangan materi, tetapi karena kekosongan yang tak terisi oleh semua kemewahan ini. Dan saat air mata menetes di pipiku, aku tahu bahwa ada sesuatu yang perlu berubah. Tapi pertanyaannya, apakah aku siap untuk melepaskan dunia yang telah memberiku segala kemewahan ini?

 

Kehampaan Di Balik Kilauan

Pagi itu, aku terbangun dengan perasaan yang sulit kugambarkan. Mataku berat karena kurang tidur, dan pikiranku masih kacau setelah gala malam kemarin. Hari ini, meskipun jadwalku penuh dengan undangan makan siang di restoran bintang lima dan sesi spa, aku merasa lelah. Bukan kelelahan fisik, tapi ada sesuatu yang lebih dalam, yang selama ini terus kutekan.

Baca juga:  Cerpen Tentang Jajan Sembarangan: Kisah Memperbaiki Kesalahan

Aku berdiri di depan cermin besar di kamarku. Pantulan diriku terlihat sempurna rambut panjang yang tergerai, kulit bersinar berkat perawatan rutin yang biayanya lebih dari gaji bulanan kebanyakan orang, dan gaun sutra yang sempurna membungkus tubuhku. Aku memandang diriku sendiri, tapi anehnya, aku merasa seperti melihat orang lain. Aku melihat seorang wanita yang seharusnya bahagia dikelilingi kemewahan, diperhatikan banyak orang, dipuja, dan dihormati. Namun, di balik semua itu, aku merasa ada sesuatu yang hilang.

Aku berjalan menuju balkon kamarku yang menghadap pemandangan kota. Cahaya matahari pagi memantul dari gedung-gedung tinggi, menciptakan kilauan yang hampir menyilaukan. Pemandangan yang biasa aku nikmati setiap hari kini terasa hambar. Aku menghirup udara pagi yang segar, tetapi perasaan kosong itu tak kunjung hilang. Dalam beberapa hari terakhir, sesuatu berubah dalam diriku. Aku mulai meragukan segalanya hidupku, teman-temanku, bahkan arti kebahagiaan yang selama ini kukejar.

Ponselku berbunyi, dan seperti yang sudah kuduga, undangan dan notifikasi mulai berdatangan. Grup obrolan penuh dengan rencana makan siang, pesta, dan liburan yang tampaknya tak pernah ada habisnya. Pesan dari teman-temanku selalu sama pertanyaan tentang gaun apa yang akan kukenakan atau restoran mana yang akan kita kunjungi. Sekilas, hidup ini tampak sempurna, tapi mengapa aku tak bisa menikmati semua ini?

Aku memutuskan untuk mengabaikan pesan-pesan itu dan berdiam diri sejenak. Mungkin aku hanya butuh waktu untuk diriku sendiri. Di ruangan yang begitu besar dan mewah ini, aku merasa terjebak. Segala sesuatu di sekitarku tampak indah, dari lampu kristal yang berkilauan hingga lantai marmer yang bersinar, tetapi entah kenapa aku merasa kecil. Kemewahan ini tak lagi memberiku kebahagiaan seperti dulu.

Lama aku duduk di sana, memandangi pemandangan kota yang selalu aku banggakan. Semuanya tampak begitu jauh dan asing. Aku teringat kembali perbincangan singkat dengan Rina di pesta rooftop itu. Betapa berbeda cara pandang hidupnya dengan hidupku. Dia tidak punya barang-barang mewah, tidak tampil glamor, tapi dia tampak… bahagia. Bahagia dengan cara yang tak kumengerti.

Aku memutuskan untuk keluar rumah tanpa rencana. Kupilih mobil sportku yang paling baru, sebuah convertible berwarna merah yang baru saja dikirim dari Eropa. Mobil ini adalah salah satu perhiasanku yang paling berharga, simbol status yang membuatku merasa superior di jalanan. Ketika mesin dinyalakan dan deru mesinnya menggema, aku merasakan sensasi kekuatan yang biasa memberiku kebanggaan. Aku melaju kencang di jalan, melintasi jalan-jalan kota dengan pemandangan gedung-gedung mewah di kiri dan kanan. Semua orang memandangku ketika aku lewat, dan aku tahu persis apa yang mereka pikirkan mereka iri, mereka ingin ada di posisiku.

Namun, bahkan ketika angin menyentuh wajahku dan pemandangan kota berputar di sekitarku, perasaan itu tetap tak kunjung hilang. Ada kehampaan di balik semua kilauan ini. Di balik kacamata hitam dan senyum angkuhku, aku merasa rapuh. Semua kemewahan ini hanyalah fasad, topeng yang menutupi perasaan sebenarnya.

Aku melaju ke butik paling mewah di kota, tempat di mana aku selalu mendapatkan gaun-gaun rancangan desainer favoritku. Begitu aku masuk, para pegawai langsung menyapaku dengan ramah, seperti biasa. Mereka tahu siapa aku dan apa yang kuinginkan. Mereka membawa berbagai pilihan gaun yang indah, dari yang berbahan sutra hingga yang bertabur kristal, dan aku mencoba beberapa di antaranya. Gaun-gaun itu sempurna di tubuhku, membungkus setiap lekuk tubuh dengan anggun.

Namun, kali ini, tak ada satu pun yang benar-benar menarik perhatianku. Semua terasa biasa saja, tidak ada sensasi kegembiraan seperti dulu saat aku membeli barang-barang mewah ini. Aku melihat wajahku di cermin, tampak sempurna dengan gaun rancangan desainer, tapi tetap saja… ada sesuatu yang kurang. Aku tersenyum pada pelayan yang menyajikan koleksi gaun itu, berusaha menutupi kekecewaanku.

Setelah mencoba beberapa gaun tanpa benar-benar merasa terkesan, aku membayar satu gaun hanya karena merasa tak enak meninggalkan toko tanpa membeli apa-apa. Aku tersenyum tipis pada kasir sambil menyerahkan kartu kreditku, lalu keluar dari butik dengan tas belanja mewah di tangan. Seharusnya ini adalah momen yang membanggakan, momen di mana aku merasa menang karena telah mendapatkan gaun impian. Namun, yang kurasakan hanyalah kehampaan.

Aku kembali ke mobilku dan duduk sejenak di kursi pengemudi. Aku memandang tas belanja di kursi sebelah, seolah-olah berharap tas itu bisa memberikan jawaban atas semua kegelisahanku. Tapi kenyataannya, tidak ada jawaban di sana. Tas itu hanyalah satu lagi simbol dari kehidupan yang sudah tak lagi memuaskanku.

Aku mulai mempertanyakan segalanya. Apakah semua ini benar-benar yang kuinginkan? Apakah mengejar kemewahan dan status sosial adalah tujuan akhir dari hidupku? Mengapa aku merasa begitu kosong meskipun aku memiliki segalanya? Aku memiliki harta, teman-teman yang selalu bersamaku, dan status yang dihormati banyak orang. Tapi di balik semua itu, aku merasa sepi.

Tiba-tiba, aku teringat akan sebuah tempat yang pernah kutinggalkan, sebuah tempat yang jauh dari gemerlap dunia yang kukenal. Di sanalah aku mungkin bisa menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terus menghantuiku. Mungkin sudah waktunya aku keluar dari dunia yang selama ini membelengguku, dunia yang penuh dengan kilauan, tetapi kosong di dalam.

Aku menyalakan mesin mobil dan melaju dengan tujuan yang jelas di benakku. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa memiliki arah. Mungkin perjalanan ini bisa membantuku menemukan kembali arti kebahagiaan yang sesungguhnya bukan di balik kemewahan, tetapi di balik kesederhanaan yang selama ini tak pernah kulirik.

Hari itu, aku meninggalkan segala sesuatu yang kukenal, dengan harapan bahwa ada sesuatu yang lebih berharga daripada semua kilauan dunia yang selama ini kuanggap penting. Mungkin, hanya mungkin, kebahagiaan yang kucari tak ditemukan di tengah gemerlap pesta atau butik mewah, melainkan di dalam diri yang selama ini terabaikan.

 

 

Dan di sinilah aku, duduk di kursi pengemudi dengan pemandangan jalanan yang jauh dari hiruk pikuk kota. Suara mesin mobil yang dulu membuatku merasa berkuasa kini hanyalah gema kosong di telingaku. Tapi ada yang berbeda kali ini aku tidak lagi mencari jawaban di balik kilauan barang mewah atau status sosial. Aku akhirnya menyadari, kebahagiaan bukanlah tentang apa yang tampak di luar, melainkan tentang apa yang dirasakan di dalam. Perjalanan ini baru dimulai, dan untuk pertama kalinya, aku merasa bebas. Bebas dari ilusi, bebas dari kehampaan. Kini aku mengerti, kebahagiaan sejati bukan ditemukan di balik kilauan, tapi dalam kedamaian hati. Demikian kisah Dian ini semoga kalian semua terinspirasi dri kisah ini, Sampai jumpa di cerita-cerita berikutnya.

Leave a Comment