Black Flames: Kisah Anak Metal Gaul Yang Menggebrak Panggung Festival SMA

Halo, Sahabat pembaca! Taukah kalian kalau “Black Flames adalah cerita tentang seorang anak SMA bernama Angga yang dikenal sebagai anak metal gaul dengan kehidupan penuh kebahagiaan dan persahabatan. Dalam cerita ini, Angga bersama band-nya, Black Flames, menghadapi malam festival musik sekolah yang penuh tantangan dan semangat. Cerita ini membawa pembaca pada perjalanan seru penuh energi, tawa, dan momen berkesan saat band mereka menggebrak panggung dengan alunan musik metal yang menggelegar. Bagaimana Angga dan teman-temannya menunjukkan siapa mereka di atas panggung? Simak kisah lengkapnya di cerita ini!”

 

Kisah Anak Metal Gaul Yang Menggebrak Panggung Festival SMA

Angga, Anak Metal Yang Gaul Dan Ramah

Pagi itu, suasana sekolah begitu ramai seperti biasanya. Suara langkah kaki siswa yang bergegas menuju kelas, deru motor yang parkir di halaman, serta sapaan-sapaan riang terdengar di mana-mana. Di tengah keramaian itu, aku, Angga, berjalan santai. Jaket kulit hitamku terpasang seperti biasa, dengan beberapa emblem band metal favoritku terpampang jelas di punggung. Rambutku yang gondrong tergerai, beberapa helai berwarna biru menyembul dari antara warna asliku yang hitam. Aku merasa percaya diri, seperti biasanya, saat berjalan di antara teman-teman sekolah.

“Nggak ada yang lebih keren dari hari Senin pagi, bro,” gumamku sambil melangkah ke arah pintu utama sekolah. Di sini, aku merasa seperti rumah sendiri. Teman-temanku ada di mana-mana, dan tidak pernah ada hari yang membosankan di SMA ini.

Langkahku terhenti sejenak saat aku melihat Riko, salah satu teman sekelasku, duduk di bangku taman depan sekolah. Wajahnya terlihat kusut, seperti baru saja melewati malam yang buruk. Aku tahu betul, itu pasti karena tugas matematika yang rumit. Riko bukan anak metal, lebih ke tipe kutu buku, tapi kami sering ngobrol tentang banyak hal. Bagiku, berteman tidak harus memandang gaya atau hobi.

“Yo, Rik! Tugas mat diselesaikan pakai otak, bukan muka kusut,” aku menyapa sambil menepuk bahunya dengan akrab.

Riko tertawa kecil, meski wajahnya masih kelihatan stres. “Gila, bro. Gue kayaknya udah mau meledak deh ngerjain soal kemarin malam. Lo udah selesai belum?”

Aku tersenyum lebar, “Ah, lo nanya ke orang yang salah. Gue kemarin lebih sibuk dengerin album baru Slipknot. Tugas nanti gue pinjam catatan lo aja, ya?”

Riko tertawa lebih keras kali ini. “Ya udah deh, kalau lo yang minta, gue kasih catatan gue.”

Kami tertawa bersama, dan tanpa sadar, percakapan ringan itu sudah membuat Riko terlihat lebih ceria. Aku selalu percaya, dalam pertemanan, sekadar obrolan santai bisa mengubah suasana hati seseorang. Aku senang bisa membantu teman-temanku meski cuma dengan candaan ringan.

Aku melanjutkan perjalanan ke kelas, dan di setiap sudut koridor, selalu ada saja teman yang menyapaku. “Gaul banget sih lo, Ngga,” pernah ada yang bilang begitu. Tapi jujur, buatku, aku cuma jadi diri sendiri. Nggak ada yang lebih menyenangkan daripada punya banyak teman dari berbagai kalangan.

Saat tiba di kelas, seperti biasa, teman-teman sudah berkumpul di bangku masing-masing. Sekelompok anak basket sedang berbincang tentang pertandingan kemarin sore, sementara beberapa anak cewek asyik ngobrol soal drama Korea terbaru. Aku berjalan menuju tempat dudukku di belakang, dan di sana sudah ada Dimas, sahabatku yang juga anggota band kami, “Black Flames.”

“Ngga, ada kabar bagus nih!” kata Dimas dengan mata berbinar. “Kayaknya kita bakal dapet kesempatan manggung di festival musik sekolah!”

Mendengar itu, aku langsung tersenyum lebar. “Seriusan, bro? Ini kesempatan emas buat kita!”

Aku dan Dimas langsung merencanakan apa yang harus kami persiapkan untuk penampilan nanti. Sejujurnya, aku nggak pernah membayangkan bakal jadi anak band. Dulu, aku cuma suka dengerin musik keras, tapi setelah gabung sama Dimas dan teman-teman yang lain, aku sadar kalau bermain musik memberikan kesenangan tersendiri. Setiap sore, sepulang sekolah, kami selalu nongkrong di studio musik kecil di dekat sekolah. Di sana, semua lelah dan masalah seakan hilang begitu saja ketika kami mulai bermain gitar, bass, drum, dan tentunya vokalku yang serak-serak basah.

Tapi, di balik semua itu, aku tetap ingat kalau menjadi anak metal atau anak band bukan berarti harus menutup diri dari orang lain yang nggak punya selera musik yang sama. Aku gaul, bukan karena aku tampil beda atau ingin jadi pusat perhatian, tapi karena aku selalu menghargai orang lain dan terbuka untuk berteman dengan siapa saja. Setiap hari, aku berusaha bikin suasana di sekitar jadi lebih ceria, entah dengan candaan, obrolan ringan, atau sekadar mendengarkan curhatan teman-teman.

Di kelas, suasana hari itu semakin seru. Pelajaran matematika yang biasanya bikin banyak orang ngantuk, tiba-tiba terasa ringan ketika Bu Wati, guru matematika kami, datang dengan wajah cerah dan memberi kami soal latihan. Semua mengeluh, tapi aku hanya tersenyum sambil melihat ke arah Riko. “Lo pahlawan gue hari ini, bro,” kataku sambil menyenggol lengannya.

Riko hanya mengangguk sambil senyum, dan aku tahu dia senang bisa membantu.

Ketika jam istirahat tiba, aku, Dimas, dan beberapa teman lain berjalan menuju kantin. Kantin sekolah selalu penuh, tapi itu justru yang bikin seru. Kami memesan es teh dan gorengan, makanan yang paling pas buat cuaca panas siang itu. Di meja kantin, kami mulai ngobrol lagi soal rencana manggung nanti malam di festival. Aku mulai membayangkan penonton yang ramai, lampu sorot yang terang, dan suara riuh tepuk tangan setelah lagu pertama kami dimainkan.

“Aku udah punya list lagu-lagu yang bakal kita mainkan,” kataku sambil menyodorkan daftar kepada Dimas dan teman-teman. “Ini bakal jadi penampilan terbaik kita, bro. Gue yakin.”

Semua setuju dengan penuh semangat. Aku merasa dunia ini penuh warna, seolah nggak ada hal yang bisa membuatku kehilangan semangat. Teman-teman, musik, sekolah, semuanya seimbang dalam hidupku.

Hari itu, aku pulang dengan senyum lebar di wajah. Aku tahu, hidup ini selalu penuh tantangan, tapi dengan sikap positif, aku yakin bisa melalui semuanya dengan mudah. Aku bersyukur bisa jadi diri sendiri, anak metal yang gaul, tapi tetap bahagia dengan caraku sendiri.

Baca juga:  Menggugah Kesadaran Kebersihan: Kisah Luna Dan Taman Kota Yang Ceria

 

Black Flames, Impian Di Balik Musik Keras

Setelah mendengar kabar dari Dimas tentang kesempatan manggung di festival musik sekolah, aku nggak bisa berhenti tersenyum. Bayangan panggung yang gemerlap dengan ribuan sorotan lampu, deru tepukan tangan dari penonton, dan dentuman musik keras dari speaker besar seolah terus terngiang di kepala. Aku dan teman-temanku di Black Flames akhirnya punya kesempatan untuk menunjukkan siapa kami sebenarnya di depan seluruh siswa sekolah.

Black Flames bukan band sembarangan. Kami mungkin baru terbentuk beberapa bulan yang lalu, tapi setiap anggota band ini punya passion yang nggak main-main terhadap musik metal. Gue sendiri, Angga, kebagian posisi sebagai vokalis, Dimas si jenius gitaris, Rio yang mahir menghentak drum dengan presisi luar biasa, dan Andi, si pendiam namun maut dengan bass-nya. Setiap kali kami main bareng, rasanya ada semacam aliran energi yang bikin suasana jadi lebih hidup.

Band kami sering berkumpul di studio kecil di pinggir kota. Namanya “Studio Metalhead,” tempat yang sederhana, tapi bagi kami, itu adalah rumah kedua. Dengan tembok yang penuh coretan grafiti dan poster-poster band legendaris, rasanya tiap langkah di dalam studio membawa aura para musisi besar. Di sanalah mimpi kami mulai terbentuk, di mana setiap pukulan drum, petikan gitar, dan raungan vokal adalah wujud nyata dari semangat kami.

Sore itu, seperti biasa, aku, Dimas, Rio, dan Andi berkumpul di studio setelah jam sekolah selesai. Kami langsung menuju ruangan di pojok, tempat yang sudah seperti markas kami. Dimas membawa gitar Les Paul hitamnya, dengan sedikit goresan di bodi yang menunjukkan betapa seringnya gitar itu dipakai. Rio sudah duduk di belakang drum set-nya, mengencangkan snares dan cymbals, sementara Andi terlihat tenang seperti biasa, memetik bass dengan keahlian yang sulit ditandingi.

“Gue udah siapin list lagu buat kita nanti di festival,” kataku sambil membuka buku catatan kecil yang selalu gue bawa setiap kali latihan. “Kita bakal mulai dengan lagu ‘Unholy Night,’ terus lanjut ke ‘Dark Flame,’ dan terakhir, lagu original kita, ‘Rise of the Phoenix’. Gimana, setuju?”

Dimas langsung mengangguk penuh semangat. “Gue suka. Lagu-lagu itu punya energi yang bakal bikin penonton nggak bisa diem.”

Rio ikut menimpali, “Betul! Gue udah siap buat menghajar drum kayak orang gila di atas panggung. Kita harus bikin malam itu nggak terlupakan.”

Sementara Andi, seperti biasa, hanya mengangguk kecil dengan senyum tipis di wajahnya. Walaupun dia nggak banyak bicara, kami semua tahu kalau Andi selalu memberikan yang terbaik saat tampil di atas panggung.

Kami mulai latihan dengan antusias. Lagu pertama, “Unholy Night,” selalu jadi andalan kami. Lagu ini penuh dengan riff gitar yang cepat dan berat, dengan tempo cepat yang bikin darah mengalir lebih kencang. Aku mulai bernyanyi dengan gaya khasku, suara serak yang penuh energi, mengiringi petikan gitar Dimas yang bertenaga. Rasanya seperti melepaskan seluruh emosi yang terpendam di dalam diri setiap kali kami membawakan lagu ini.

Setelah beberapa lagu, kami istirahat sejenak. Aku duduk di sofa tua yang ada di sudut ruangan, sambil memandang teman-temanku yang juga kelelahan tapi bahagia.

“Gue nggak percaya kita akhirnya bakal manggung di festival musik sekolah,” kataku, memecah keheningan. “Ini lebih dari yang pernah gue bayangkan waktu pertama kali kita ngebentuk band ini.”

Dimas, yang duduk di sampingku sambil memainkan beberapa nada gitar dengan santai, tersenyum lebar. “Iya, bro. Kita mulai dari nol, cuma anak-anak yang suka dengerin musik metal, terus sekarang kita udah mau tampil di depan semua orang. Gila, nggak sih?”

Rio, yang baru saja meneguk botol air, tertawa kecil. “Siapa sangka, ya? Gue kira kita cuma bakal main di studio ini doang buat seru-seruan. Tapi ternyata kita bisa lebih dari itu.”

Aku melihat ke arah Andi, yang seperti biasa, duduk tenang dengan bass-nya di pangkuan. Walaupun dia nggak banyak bicara, aku tahu dia merasakan hal yang sama. Band ini lebih dari sekadar hobi bagi kami. Ini adalah cara kami mengekspresikan diri, mengubah suara keras dan lirik metal menjadi semangat hidup kami.

“Gue pengen kita semua kasih yang terbaik nanti di festival,” lanjutku dengan penuh semangat. “Gue nggak mau kita cuma jadi pengisi acara, gue mau kita bikin semua orang ingat sama nama Black Flames.”

Dimas menatapku serius. “Setuju, bro. Kita harus tampil habis-habisan.”

Latihan sore itu berlanjut hingga matahari mulai terbenam. Suara gitar, bass, drum, dan vokal menggema di dalam studio, seakan-akan setiap nada yang kami mainkan adalah janji yang kami buat untuk masa depan. Kami tahu bahwa malam festival nanti bukan sekadar kesempatan biasa. Ini adalah saat kami membuktikan bahwa impian besar kami bisa terwujud.

Di akhir sesi latihan, kami semua duduk di lantai, terengah-engah namun puas. “Gue bangga sama kalian,” kata Rio sambil tersenyum. “Kita udah jauh banget dari awal. Band ini bukan cuma band, tapi keluarga.”

Aku mengangguk setuju. “Betul. Apa pun yang terjadi nanti, yang penting kita tampil dengan hati. Gue yakin, kalau kita terus berjuang bareng-bareng, nggak ada yang nggak mungkin.”

Kami semua bersalaman, tanda persaudaraan dan semangat kami sebagai satu tim. Black Flames adalah lebih dari sekadar band. Kami adalah sekumpulan anak SMA yang punya mimpi besar, semangat membara, dan keyakinan kuat bahwa suara kami akan didengar dunia.

Malam itu, aku pulang dengan perasaan penuh harapan. Bayangan penampilan kami di atas panggung, dengan sorakan penonton yang memanggil nama band kami, membuat jantungku berdebar kencang. Ada sesuatu yang besar menunggu di depan, dan aku tahu, bersama Black Flames, kami akan menghadapi semuanya dengan penuh percaya diri.

 

Persiapan Tak Terduga

Pagi itu, aku bangun dengan perasaan yang beda. Mungkin karena festival musik sekolah sudah semakin dekat. Setiap bangun pagi, bukannya merasa malas buat berangkat sekolah, aku justru merasa antusias. Ada semacam energi yang terus mengalir di dalam tubuhku, nggak sabar buat latihan lagi bareng Black Flames. Rasanya, semua yang terjadi belakangan ini benar-benar sempurna.

Baca juga:  Cerpen Tentang Berbuat Kebaikan: Kisah Remaja Saling Perhatian

Di sekolah, teman-teman mulai tahu soal band kami. Nama Black Flames mulai sering disebut-sebut, terutama oleh para anak metal yang selama ini mungkin nggak terlalu terlihat. Banyak dari mereka yang tiba-tiba mendekati kami di kantin, di lapangan, bahkan di kelas, sekadar untuk mengucapkan semangat atau tanya-tanya soal lagu apa yang akan kami bawakan. Itu membuatku semakin yakin kalau Black Flames benar-benar akan menjadi sorotan di festival nanti.

Hari itu di sekolah, kami semua sudah sepakat buat berkumpul di studio latihan sepulang sekolah. Tapi ada satu hal yang bikin aku agak gelisah. Si Dimas, gitaris kami, kemarin bilang kalau ada masalah sama gitarnya. “Gue rasa kabelnya ada yang nggak bener, soalnya suara gitarnya kadang mati sendiri,” katanya waktu latihan kemarin. Itu sempat bikin suasana latihan jadi agak tegang, karena nggak mungkin kami tampil tanpa gitar yang prima. Gitar adalah nyawa Black Flames.

Di kelas, aku duduk sambil sesekali melamun tentang penampilan nanti. Tapi tiba-tiba, Dimas datang dengan wajah sumringah. “Ngga, gue dapet kabar baik!” katanya sambil duduk di sampingku.

“Apa tuh?” tanyaku penasaran.

“Nyokap gue baru beliin kabel baru buat gitar gue, dan nggak cuma itu, gue juga dikasih efek pedal baru! Kita bakal lebih gila di panggung nanti!”

Wajahku langsung bersinar. Ini kabar yang luar biasa! “Serius lo? Wah, ini bakal keren banget, Dim! Gue udah nggak sabar nunggu latihan nanti sore.”

Dia mengangguk dengan penuh semangat. “Gue juga. Ntar lo liat aja, suaranya bakal lebih jernih dan bertenaga. Gue yakin, kita bakal ngehajar penonton di festival nanti.”

Hari itu berlalu dengan cepat. Setiap pelajaran terasa seperti berlalu dalam sekejap mata, karena pikiranku terus melayang pada sesi latihan nanti. Aku sudah nggak sabar untuk mencoba gear baru Dimas, dan lebih dari itu, semakin dekat dengan hari penampilan membuat adrenalin semakin terasa.

Begitu bel pulang sekolah berbunyi, aku dan anak-anak Black Flames langsung bergegas ke studio. Jalanan menuju “Studio Metalhead” terasa lebih cerah dari biasanya. Mungkin cuma perasaanku saja, tapi aku merasa alam pun mendukung kami. Langit biru tanpa awan, dan angin sepoi-sepoi yang menyejukkan. Ini adalah hari yang sempurna untuk latihan besar-besaran.

Sampai di studio, Dimas langsung mengeluarkan gitar dan pedal barunya. Kabel yang kemarin bermasalah sudah diganti dengan yang baru, dan pedal efek yang dia bawa terlihat keren dengan lampu-lampu kecil yang menyala-nyala. “Ini dia, senjata baru kita,” katanya sambil menyambungkan kabel ke amplifier.

Kami semua mengelilingi Dimas, penasaran dengan bagaimana suara barunya nanti. Rio sudah duduk di balik set drum, mengetuk ringan stick drum-nya seolah memanaskan tangan. Andi juga sudah siap dengan bass-nya, bersandar di tembok sambil tersenyum tipis, seperti biasa.

Begitu Dimas mulai memainkan riff pembuka dari lagu andalan kami, “Unholy Night”, suara yang keluar dari amplifier benar-benar bikin merinding. Jernih, keras, dan penuh tenaga. Aku bisa merasakan setiap nada yang dipetiknya seolah-olah menghantam udara dengan kekuatan yang luar biasa.

“Ini keren banget, Dim!” teriakku sambil tertawa kegirangan. “Gue yakin, kalau kita main kayak gini di festival nanti, semua orang bakal gila!”

Dimas tersenyum puas. “Gue bilang juga apa. Ini baru permulaan, bro. Ntar di festival, kita bakal kasih yang lebih gila lagi.”

Kami langsung mulai latihan dengan penuh semangat. Lagu-lagu yang kami bawakan terasa lebih hidup dari sebelumnya. Setiap kali aku bernyanyi, suaraku terdengar lebih lantang, lebih penuh emosi. Rasanya seperti ada aliran energi dari suara gitar, bass, dan drum yang membuatku semakin terhanyut dalam musik.

Latihan itu benar-benar bikin kami semakin yakin bahwa kami siap untuk tampil. Setiap nada, setiap lirik, setiap hentakan drum, semuanya terasa seolah-olah kami sedang berlatih di atas panggung besar. Penampilan kami di festival nanti bukan hanya soal membawakan musik metal, tapi tentang membuktikan kepada semua orang bahwa Black Flames bukan band biasa.

Setelah selesai latihan, kami duduk di sofa tua di sudut ruangan. Wajah kami semua penuh keringat, tapi juga penuh dengan senyuman lebar. Rio memegang botol air mineral dan meneguknya habis dalam sekali tegukan. “Gue rasa ini latihan terbaik kita,” katanya dengan napas terengah-engah.

Dimas setuju sambil tertawa kecil. “Gue nggak sabar buat ngehajar penonton di festival nanti. Kita udah siap!”

Andi, yang biasanya paling pendiam, kali ini angkat bicara. “Gue setuju. Kita udah lebih dari siap. Festival nanti bakal jadi milik kita.”

Aku mengangguk setuju. “Bener banget. Kita udah latihan keras, dan sekarang saatnya kita tunjukin apa yang kita bisa. Gue yakin Black Flames bakal jadi band yang diingat semua orang.”

Hari itu berakhir dengan perasaan bahagia dan penuh semangat. Nggak ada rasa cemas atau keraguan di antara kami. Hanya ada rasa antusias dan percaya diri yang luar biasa. Kami tahu, festival musik nanti akan menjadi momen besar dalam hidup kami. Bukan cuma soal penampilan, tapi juga tentang impian yang mulai terwujud.

Di jalan pulang, aku tersenyum sendiri. Rasanya nggak sabar untuk berdiri di atas panggung, dengan lampu sorot yang menyinari kami, suara penonton yang bersorak, dan musik metal yang menggetarkan. Ini adalah perjalanan yang panjang, tapi aku yakin, bersama Black Flames, kami akan menaklukkan semuanya.

 

Malam Yang Ditunggu-Tunggu

Akhirnya, hari yang kami tunggu-tunggu tiba. Malam festival musik sekolah, malam yang selalu ada di pikiran sejak pertama kali kami sepakat ikut tampil. Sejak pagi, aku udah ngerasain ada sesuatu yang beda. Mungkin itu perasaan grogi bercampur semangat yang udah nggak bisa dibendung lagi. Hari ini, Black Flames akan menggebrak panggung dan menunjukkan siapa kami sebenarnya.

Sepanjang hari di sekolah, suasana terasa lebih hidup. Anak-anak bicara soal festival malam nanti, dan nggak sedikit yang penasaran dengan penampilan band-band yang akan manggung. Namaku dan teman-teman band disebut beberapa kali oleh anak-anak di kelas. “Eh, lo tau nggak? Katanya Angga bakal tampil sama band-nya malam ini. Gue denger-denger, band-nya keren banget!” Itu salah satu percakapan yang sempat kudengar di kantin. Bukan cuma bikin aku senyum-senyum sendiri, tapi juga bikin aku semakin semangat buat kasih yang terbaik nanti malam.

Baca juga:  Cerpen Tentang Kegiatan Ekonomi Sehari hari: Kisah Remaja Semangat Berjualan

Sepulang sekolah, aku langsung buru-buru pulang ke rumah untuk siap-siap. Gua udah milih outfit yang paling keren kaos hitam band metal favoritku, jaket kulit yang selalu bikin penampilan gue terlihat lebih garang, dan tentunya celana jeans robek yang jadi ciri khas anak metal sejati. Sepatu boots hitam juga nggak lupa gua pake. Gua pengen tampil total, nggak cuma dari segi musik, tapi juga dari penampilan.

Sampai di rumah, aku sempet ngelihatin diri di kaca. “Oke, ini dia. Ini adalah lo, Angga, anak metal yang bakal ngeledakin panggung malam ini.” Aku ketawa kecil sambil ngebenerin rambut yang sengaja gue acak biar terlihat makin keren.

Sesampainya di tempat festival, suasana udah ramai. Lampu-lampu panggung udah menyala, suara musik dari sound system besar terdengar menggema, dan penonton mulai berdatangan. Aku bisa ngerasain udara malam itu penuh dengan kegembiraan dan energi. Beberapa band udah tampil lebih dulu, dan penampilan mereka cukup keren, tapi aku tau Black Flames bakal bawa sesuatu yang beda.

Di backstage, aku ketemu sama anak-anak band. Dimas udah sibuk ngecek gitarnya lagi, memastikan semua baik-baik aja. Andi duduk di kursi sambil ngebenerin senar bass-nya, sementara Rio sibuk ngetukin stick drum-nya ke meja kecil, kayak orang lagi latihan di atas panggung. Semuanya tampak serius, tapi gua tau mereka sama semangatnya kayak gue.

“Gimana, guys? Siap buat ngehajar penonton?” tanyaku sambil menggebu-gebu.

Dimas ngeliat ke arahku dan senyum lebar. “Gue lebih dari siap. Gitar gue udah oke, dan efek pedalnya bakal bikin mereka teriak kaget!”

Rio juga ngangguk sambil tersenyum. “Kita bakal bikin panggung ini kebakar, bro.”

Andi, seperti biasa, cuma kasih anggukan sambil senyum tipis. Itu udah cukup buat gue tau kalau dia juga semangat.

Sebelum naik panggung, kami berkumpul dulu. Seperti ritual kecil yang selalu kami lakukan sebelum manggung. Kami berdiri dalam lingkaran, saling taruh tangan di tengah, dan saling pandang satu sama lain.

“Ini momen kita,” kata Dimas. “Kita udah latihan keras, sekarang saatnya buat nunjukin ke semua orang kalau Black Flames itu bukan band sembarangan.”

“Gue yakin,” tambah Rio. “Penampilan kita malam ini bakal diinget.”

Aku mengangguk dan tersenyum. “Ayo kita kasih yang terbaik, bro. Black Flames bakal bawa metal malam ini!”

Kami semua teriak, “Black Flames!” sebelum akhirnya naik ke atas panggung. Jantungku berdebar kencang saat menjejakkan kaki di atas panggung yang diterangi oleh lampu sorot. Penonton di depan kami udah ramai, sorakan dan tepuk tangan menyambut kami dengan antusias.

Aku melirik ke arah anak-anak band. Dimas udah siap dengan gitarnya, Andi berdiri di sebelahnya dengan bass yang terkalung di bahu, dan Rio duduk di balik set drum, siap memulai intro pertama. Kami saling pandang sekali lagi, lalu aku mengangguk sebagai tanda bahwa kami semua siap.

Dimas mulai memainkan riff pembuka, dan suara gitar listrik yang keras langsung memenuhi udara malam itu. Aku bisa ngeliat penonton di depan mulai bergerak, beberapa dari mereka langsung mengangkat tangan, terhanyut dalam musik yang mulai menggema. Lalu, aku masuk dengan vokal pertama, suaraku mengalir selaras dengan irama gitar, bass, dan drum.

Energi di atas panggung luar biasa. Aku bisa merasakan semangat yang sama di antara kami berempat, seolah-olah kami satu tubuh yang bergerak bersama dengan musik. Penonton semakin liar, mereka mulai bergerak mengikuti alunan musik kami, beberapa bahkan sudah mulai membentuk lingkaran di depan panggung, siap untuk “moshing” tanda bahwa mereka benar-benar menikmati musik kami.

Ketika masuk ke lagu kedua, aku benar-benar larut dalam suasana. Aku nggak lagi merasa grogi, malah justru semakin percaya diri. Setiap lirik yang keluar dari mulutku, setiap nada yang dimainkan oleh Dimas dan Andi, dan setiap hentakan drum dari Rio, semuanya terasa sempurna. Rasanya seperti malam itu diciptakan khusus untuk kami. Lampu sorot yang berganti-ganti warna semakin menambah dramatis suasana, seolah-olah panggung itu adalah dunia kami.

Salah satu momen paling keren adalah ketika Dimas memainkan solo gitarnya di lagu terakhir. Dia benar-benar memberikan semua yang dia punya. Jarinya bergerak cepat di fretboard, menghasilkan nada-nada yang liar dan memukau. Penonton berteriak kencang, sebagian bahkan bertepuk tangan mengikuti irama. Aku berdiri di tengah panggung, menikmati momen itu, sambil sesekali menyapa penonton yang kelihatannya semakin larut dalam energi metal yang kami suguhkan.

Selesai solo gitar, aku memberikan vokal penutup yang lantang, penuh dengan emosi dan semangat. Dan ketika lagu itu berakhir dengan dentuman terakhir dari drum Rio, aku bisa merasakan getaran dari penonton yang bersorak. Mereka berteriak, bertepuk tangan, dan bahkan beberapa meneriakkan nama band kami, “Black Flames! Black Flames!”

Kami saling pandang di atas panggung, senyum lebar nggak bisa disembunyikan. Ini adalah momen kemenangan buat kami. Aku melangkah ke depan panggung dan membungkuk, mengucapkan terima kasih kepada penonton. “Terima kasih banyak! Kalian luar biasa!”

Dimas, Andi, dan Rio juga maju ke depan, dan kami semua membungkuk bersama sebagai tanda terima kasih. Malam itu, kami tahu bahwa penampilan kami berhasil. Black Flames nggak cuma tampil, kami berhasil menggebrak panggung dan meninggalkan kesan yang nggak bakal dilupakan oleh siapa pun yang menonton.

Saat turun dari panggung, aku merasa lega dan puas. Ini adalah salah satu momen terbaik dalam hidupku, dan aku tahu, ini baru awal dari perjalanan kami sebagai band. Black Flames akan terus menyala, dan aku yakin kami akan melangkah lebih jauh lagi.

 

*Black Flames* membawa kita pada perjalanan seru Angga dan band-nya, menunjukkan bahwa semangat, persahabatan, dan cinta musik dapat menciptakan momen yang tak terlupakan. Kisah ini mengingatkan kita untuk berani mengekspresikan diri dan mengejar mimpi bersama orang-orang terkasih. Terima kasih telah membaca! Semoga cerita ini menginspirasi Anda. Sampai jumpa di cerita selanjutnya!”

Leave a Comment