Halo, Para pembaca! Di dalam cerita ini menceritakan tentang seorang anak bernama Siska yang memiliki kecintaan besar terhadap kucing. Dalam cerita yang penuh kehangatan ini, Siska tidak hanya menemukan kebahagiaan dari persahabatannya dengan tiga kucing peliharaannya, Milo, Lulu, dan Momo, tetapi juga mendapatkan kejutan manis ketika tiga anak kucing baru hadir di rumahnya. Dengan gaya narasi yang ceria dan penuh kasih sayang, cerpen ini menggambarkan betapa istimewanya hubungan antara manusia dan hewan peliharaan, serta bagaimana mereka bisa membawa kebahagiaan tak ternilai ke dalam hidup kita. Mari ikuti kisah seru ini dan rasakan cinta tanpa syarat yang mengalir di setiap halamannya!
Kisah Persahabatan Siska Dan Keluarga Kucing
Pertemuan Tak Terduga Dengan Anak Kucing Kecil
Hari itu, aku pulang sekolah dengan perasaan riang seperti biasanya. Matahari bersinar lembut, memberikan kehangatan yang menyenangkan di sore hari. Di sepanjang jalan menuju rumah, aku selalu menyempatkan diri bermain sebentar di taman kecil dekat sekolahku. Taman itu sering menjadi tempat berkumpulnya anak-anak seusia ku, dan kami biasanya bermain petak umpet atau sekadar berbincang ceria sambil berlari-lari kecil. Hari ini terasa lebih istimewa, karena suasana hatiku benar-benar cerah.
Ketika aku melewati kerumunan bunga di taman, sebuah suara lembut mengeong tiba-tiba menarik perhatianku. Aku berhenti dan mendengarkan lebih seksama. Suara itu terdengar lagi, kali ini lebih jelas, seolah meminta perhatian. Dengan penasaran, aku mulai melangkah ke arah suara itu.
Di bawah semak-semak berbunga, tampak seekor anak kucing kecil. Tubuhnya mungil, berbulu abu-abu lembut, dengan matanya yang besar dan bulat, seolah-olah dia sedang mencari sesuatu atau mungkin, seseorang yang bisa memberinya kehangatan. Hatiku langsung tersentuh. Anak kucing itu tampak gemetar, entah karena kedinginan atau ketakutan, aku tidak bisa memastikan.
Aku berjongkok perlahan, berhati-hati agar tidak mengejutkannya. “Hei, kamu sendirian di sini?” tanyaku pelan, meski tahu dia tak akan menjawab. Anak kucing itu memandangku dengan mata yang begitu polos, lalu mengeong lagi, kali ini dengan nada lirih seolah-olah memohon bantuan.
Aku mengulurkan tangan dengan perlahan, berharap dia tidak takut. Kucing itu mencium tanganku dengan ragu, sebelum akhirnya mendekat dan menyandarkan kepalanya ke jari-jariku yang masih kaku karena menahan kegugupan. Saat sentuhanku mengenai bulunya yang lembut, aku merasa seperti menemukan sahabat baru.
Tanpa berpikir panjang, aku membuka jaketku dan membungkus anak kucing itu dengan hati-hati. Dia begitu kecil dan kurus, seolah sudah berhari-hari berada di luar. “Jangan khawatir, aku akan merawatmu,” bisikku sambil memeluknya. Aku merasakan detak jantung kecilnya yang cepat di tanganku, membuatku semakin yakin bahwa anak kucing ini butuh perlindungan dan kasih sayang.
Dalam perjalanan pulang, aku memikirkan bagaimana reaksi ibu ketika aku membawa anak kucing ini ke rumah. Ibuku selalu bilang bahwa kita harus bertanggung jawab atas setiap hewan yang kita pelihara, dan aku tahu itu bukan hal yang mudah. Aku sudah punya dua kucing di rumah, Lulu dan Momo, dan mereka adalah bagian dari keluarga kami. Apakah Ibu akan mengizinkan anak kucing ini tinggal bersama kami?
Aku melangkah pelan menuju rumah, berpikir keras mencari cara agar Ibu setuju. Tapi, setiap kali anak kucing ini mengeong kecil dari balik jaketku, hatiku menjadi semakin lembut. Aku tidak mungkin membiarkannya begitu saja. Rasa sayangku sudah tumbuh sejak pandangan pertama.
Sesampainya di rumah, aku masuk dengan hati-hati. Aku harus mencari waktu yang tepat untuk memberitahu Ibu. Namun, seperti biasanya, ibu selalu punya cara untuk mengetahui sesuatu lebih cepat daripada yang kubayangkan.
“Siska, ada apa dengan jaketmu? Kamu bawa apa itu?” suara lembut ibu terdengar dari dapur, membuatku tersentak. Aku berhenti sejenak, mengambil napas dalam, dan memutuskan untuk jujur. Aku berjalan ke dapur dan membuka jaketku, memperlihatkan anak kucing kecil yang terlelap di dalamnya.
“Ibu, aku menemukan anak kucing ini di taman,” kataku dengan suara sedikit cemas. “Dia sendirian, kedinginan, dan kelaparan. Aku janji akan merawatnya, Bu. Boleh, ya?”
Ibu melihatku sejenak, lalu menatap anak kucing itu. Ada keheningan sesaat yang membuatku semakin tegang. Namun kemudian, sebuah senyum lembut muncul di wajah ibu. “Kamu tahu, Siska, merawat hewan itu tanggung jawab besar. Tapi kalau kamu benar-benar yakin bisa melakukannya, tentu ibu izinkan. Tapi ingat, kamu harus merawatnya dengan baik, sama seperti Lulu dan Momo.”
Rasanya seperti beban berat terangkat dari pundakku. Aku memeluk Ibu erat-erat dan berterima kasih dengan penuh kegembiraan. “Aku janji, Bu! Aku akan merawatnya seperti keluarga kita sendiri.”
Malam itu, aku memberinya nama Milo. Aku tidak tahu mengapa nama itu terlintas begitu saja di pikiranku, tetapi rasanya pas untuknya. Lulu dan Momo, dua kucingku yang lain, terlihat penasaran saat aku membawa Milo ke dalam rumah. Mereka menghampiri, mengendus-endus, tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda agresif. Itu pertanda baik, pikirku.
Setelah memastikan Milo makan dengan baik, aku menyiapkan tempat tidur kecil untuknya di kamarku. Namun, ketika aku berbaring di tempat tidur, Milo melompat naik dan meringkuk di sampingku. Aku bisa merasakan kehangatannya, dan entah kenapa, malam itu aku tidur dengan perasaan yang lebih bahagia daripada biasanya.
Aku merasa telah menemukan sahabat baru yang akan menambah kebahagiaanku. Milo bukan hanya seekor kucing kecil yang aku temukan di jalan; dia adalah anggota baru dari keluargaku, dan aku tahu kami akan berbagi banyak momen indah bersama. Sejak hari itu, hidupku terasa lebih penuh dengan cinta dan kasih sayang yang luar biasa.
Sahabat Baru Di Rumah Siska
Pagi itu, aku bangun dengan perasaan yang begitu hangat. Cahaya matahari menerobos lembut melalui tirai kamar, menciptakan bayangan emas di dinding. Saat membuka mata, hal pertama yang kurasakan adalah sentuhan lembut bulu Milo di pipiku. Ternyata, anak kucing kecil itu masih meringkuk di sampingku, tidur nyenyak seolah-olah dunia di sekitarnya begitu aman dan nyaman.
Aku tersenyum kecil, membelai kepalanya dengan lembut. Milo mengeong pelan, seolah menyadari aku sudah bangun, lalu menggesekkan kepalanya ke tanganku. Ada sesuatu yang begitu manis dan menenangkan setiap kali aku menyentuhnya. Meski baru sehari kami bersama, rasanya aku sudah memiliki ikatan kuat dengan Milo. Di saat itu, aku sadar bahwa kami sudah menjadi sahabat.
Setelah beberapa saat menikmati momen pagi yang tenang, aku bangkit dari tempat tidur dan bersiap untuk memulai hari. Sambil membereskan tempat tidur, Milo terus mengikutiku, kakinya yang kecil berusaha mengejar langkah-langkahku. Ia terus mengeong manja, membuatku tertawa. “Baiklah, Milo, ayo kita sarapan,” kataku, mengajak Milo keluar dari kamar.
Ketika kami sampai di ruang keluarga, Lulu dan Momo sudah duduk dengan anggun di dekat jendela, mengamati burung-burung yang terbang di luar. Mereka berdua tampak penasaran saat melihat Milo mengikutiku, namun mereka tetap tenang, seolah menerima kehadiran anggota baru ini dengan damai. Hatiku semakin hangat melihat bagaimana kucing-kucingku saling berinteraksi tanpa masalah.
Saat aku menuju dapur, ibu sudah berada di sana, menyiapkan sarapan seperti biasanya. “Selamat pagi, Bu!” sapaku ceria sambil mencium pipinya. Ibu tersenyum lembut sambil memandang Milo yang berdiri di samping kakiku.
“Sepertinya Milo sudah nyaman di sini, ya?” ujar ibu sambil memandangi anak kucing itu dengan mata penuh kasih.
“Iya, Bu. Dia bahkan tidur di sampingku semalaman,” jawabku dengan penuh semangat. “Aku merasa Milo sudah seperti sahabatku. Dia sangat manis dan pintar.”
Ibu tersenyum mendengarnya, lalu melanjutkan membuat teh. “Bagus kalau begitu. Tapi ingat, Siska, kamu harus menjaga komitmenmu. Merawat hewan itu membutuhkan kesabaran dan tanggung jawab.”
Aku mengangguk penuh semangat. “Tenang saja, Bu. Aku janji akan menjaga Milo sebaik mungkin.”
Setelah sarapan, aku mengajak Milo bermain di halaman belakang. Di sana, ada banyak mainan yang sudah aku persiapkan untuk Lulu dan Momo. Aku pikir, ini juga akan menjadi tempat yang sempurna bagi Milo untuk berlari-lari dan bermain. Sambil duduk di bangku kayu kecil, aku memperhatikan Milo berlarian dengan keceriaan yang tak terbendung. Ia mengejar bola-bola kecil, menggulung-gulung di atas rumput, dan sesekali menatapku dengan tatapan polos yang membuat hatiku meleleh.
Lulu dan Momo, yang biasanya lebih tenang, duduk di sampingku sambil sesekali memperhatikan Milo. Meski mereka tidak ikut bermain, aku bisa merasakan bahwa mereka menerima kehadiran Milo dengan baik. Tidak ada tanda-tanda cemburu atau rasa tidak suka. Justru, terkadang Lulu mengendus Milo dengan lembut, seolah ingin mengenalnya lebih dekat.
Milo tampak begitu bahagia, dan itu membuatku merasa sangat bersyukur. Aku merasa bahwa memutuskan untuk membawa Milo pulang adalah salah satu keputusan terbaik yang pernah aku buat. Setiap kali aku melihatnya berlarian dengan lincah, atau mendengar suaranya mengeong manja, aku tahu bahwa dia telah membawa kebahagiaan baru ke dalam rumah kami.
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan semakin lama Milo semakin dekat denganku. Ia selalu mengikutiku ke mana pun aku pergi, seperti bayanganku sendiri. Ketika aku belajar di meja, Milo akan duduk di sampingku, memperhatikanku dengan penuh rasa penasaran. Kadang-kadang, dia akan menelusupkan tubuh kecilnya di atas buku atau laptopku, seolah-olah ingin ikut serta dalam apa yang sedang kulakukan. Aku tidak bisa menahan tawa setiap kali ia melakukan hal itu.
“Milo, kamu mau ikut belajar juga?” tanyaku sambil mengusap lembut kepalanya. Milo akan mengeong pelan sebagai balasan, lalu menggeliat dan tidur di samping bukuku, seolah-olah dia merasa damai hanya dengan berada di dekatku.
Kebersamaan kami terus terjalin dengan cara yang indah. Setiap malam, sebelum tidur, aku akan membawa Milo ke tempat tidurnya sendiri yang sudah kusiapkan di pojok kamar. Tapi seperti malam-malam sebelumnya, dia selalu melompat ke atas tempat tidurku, meringkuk di sampingku, dan tidur dengan nyenyak. Aku tidak bisa menolak kenyamanan itu. Rasanya hangat dan menenangkan memiliki Milo di sampingku.
Sementara itu, Lulu dan Momo tetap menjadi bagian penting dalam hidupku. Mereka tidak pernah merasa tersisih meskipun ada Milo. Bahkan, aku bisa merasakan bahwa mereka telah menerima Milo sebagai bagian dari keluarga. Terkadang, aku melihat mereka bermain bersama, mengejar bola-bola kecil di ruang tamu, atau tidur berdampingan di atas sofa. Pemandangan itu membuat hatiku penuh kebahagiaan.
Ibu juga tampak senang dengan kehadiran Milo. Setiap kali dia melihat kami bermain bersama, senyumnya selalu menghiasi wajahnya. “Milo membawa keceriaan baru di rumah ini,” katanya suatu hari sambil tersenyum lembut.
Aku mengangguk setuju. “Iya, Bu. Aku merasa rumah kita jadi lebih hidup sejak ada Milo.”
Hari-hari bersama Milo penuh dengan tawa dan kebahagiaan. Setiap pagi, ketika aku bangun, dia sudah menunggu di samping tempat tidurku, siap untuk memulai hari dengan semangat. Setiap malam, ketika aku tidur, dia akan meringkuk di dekatku, memberikan kehangatan yang membuat tidurku semakin nyenyak.
Aku merasa hidupku semakin lengkap dengan kehadirannya. Persahabatanku dengan Milo bukan hanya tentang merawat seekor anak kucing, tetapi juga tentang bagaimana cinta dan kasih sayang bisa tumbuh tanpa syarat. Aku tahu, selama kami bersama, aku akan selalu merasa bahagia. Dan itu adalah salah satu hal terindah yang bisa aku miliki.
Petualangan Ceria Di Taman
Hari Minggu pagi datang dengan sinar matahari yang hangat. Udara pagi terasa segar, menyentuh lembut wajahku saat aku membuka jendela kamar. Di luar, suara burung-burung yang berkicau dengan riang menyambut hari baru. Aku menatap ke arah Milo, yang sudah berdiri di tepi jendela dengan penuh antusias. Ia tampak tertarik dengan semua yang terjadi di luar sana. Matanya yang besar memantulkan cahaya matahari, membuatnya terlihat semakin menggemaskan.
“Hari ini kita ke taman, Milo,” bisikku dengan semangat. Mendengar suaraku, Milo langsung mengeong pelan, seperti mengerti dan setuju dengan rencana kami. Hari ini memang aku ingin mengajak Milo dan juga Lulu serta Momo berjalan-jalan di taman dekat rumah. Taman itu adalah tempat favoritku sejak kecil, penuh dengan bunga-bunga indah, pohon rindang, dan padang rumput luas yang sering menjadi tempat bermainku bersama teman-teman.
Setelah sarapan bersama ibu, aku mulai mempersiapkan segala sesuatunya. Kalung leher Milo sudah siap, dan tentu saja, aku tidak lupa membawa mainan kesukaan Lulu dan Momo. Ketiganya tampak bersemangat. Milo berlari-lari kecil di sekitar kakiku, sementara Lulu dan Momo duduk dengan tenang namun tetap menunjukkan rasa penasaran mereka.
Sesampainya di taman, suasana begitu indah. Langit biru tanpa awan, udara sejuk, dan suara tawa anak-anak bermain terdengar di kejauhan. Banyak keluarga datang dengan anjing peliharaan mereka, dan aku langsung berpikir, betapa senangnya Milo bisa mengalami dunia luar dengan begitu banyak hal baru untuk dijelajahi.
Saat aku menurunkan Milo dari gendongan, ia terlihat sedikit bingung, tetapi tidak butuh waktu lama baginya untuk merasa nyaman. Dia mulai berjalan dengan hati-hati, mencium rumput, dan sesekali melompat kegirangan saat melihat kupu-kupu terbang di dekatnya. Aku tertawa pelan melihat tingkahnya. “Ayo, Milo! Jangan takut, ini tempat yang menyenangkan!” seruku sambil mengajaknya berjalan lebih jauh ke arah padang rumput yang luas.
Lulu dan Momo, meskipun sudah lebih tua dan lebih tenang, juga menikmati suasana taman dengan cara mereka sendiri. Lulu, dengan anggunnya, berbaring di bawah bayangan pohon besar sambil menikmati angin sepoi-sepoi, sementara Momo sesekali berlari mengejar serangga yang melintas. Namun, fokusku tetap pada Milo yang tampak seperti anak kecil yang baru pertama kali melihat dunia luar. Dia sangat senang, melompat-lompat dan berlari kecil dengan ekor tegak, tanda bahwa ia benar-benar menikmati setiap momen.
Setelah beberapa saat, aku mengeluarkan mainan bola yang kubawa dari rumah. Aku melempar bola itu sedikit jauh, dan tanpa ragu Milo langsung mengejarnya. Ia berlari dengan lincah, melompat untuk menangkap bola, lalu membawanya kembali padaku dengan bangga. “Pintar sekali, Milo!” seruku sambil tertawa bahagia. Aku merasakan kebahagiaan yang luar biasa melihat Milo begitu ceria.
Seiring berjalannya waktu, aku duduk di atas selimut piknik yang sudah kusiapkan, sementara Milo, Lulu, dan Momo berkeliaran di sekitarku. Di saat seperti ini, aku merasa dunia begitu sempurna. Angin yang lembut, suara daun bergesekan di pepohonan, dan pemandangan Milo yang berlarian dengan gembira di padang rumput membuatku merasa damai.
Tidak lama kemudian, seorang anak kecil mendekati kami. Dia menatap Milo dengan mata berbinar. “Boleh aku main dengan kucingmu?” tanyanya dengan penuh harap. Aku tersenyum dan mengangguk. “Tentu, Milo sangat ramah. Namanya Milo.”
Anak kecil itu langsung tertawa senang dan mulai bermain dengan Milo. Mereka berdua tampak begitu serasi, seolah-olah sudah lama berteman. Milo berlari-lari di sekeliling anak itu, mengejar bola yang dilemparkan dan sesekali melompat ke pangkuan anak tersebut untuk dielus. Rasanya hatiku penuh dengan kebahagiaan melihat Milo membawa kegembiraan bagi orang lain juga.
Tak lama kemudian, lebih banyak anak-anak yang datang. Mereka tertarik melihat kucing kecil yang lucu itu. Aku membiarkan mereka bermain dengan Milo, sementara Lulu dan Momo tetap di dekatku, tenang menikmati suasana. Milo tampak sangat bahagia dikelilingi oleh anak-anak yang memanjakannya, dan aku merasa senang bisa berbagi kebahagiaan itu dengan orang lain.
“Lihat, Milo, kamu sudah punya banyak teman baru!” bisikku pelan sambil tersenyum. Milo mengeong ceria, seolah mengerti kata-kataku. Ia tampak sangat menikmati perhatian yang diberikan oleh semua orang.
Hari itu berjalan dengan sangat menyenangkan. Kami menghabiskan waktu di taman lebih lama dari yang aku rencanakan. Ketika matahari mulai turun, aku mulai mengemasi barang-barang dan bersiap untuk pulang. Anak-anak yang bermain dengan Milo tampak sedikit kecewa karena harus berpisah, tetapi aku berjanji akan membawa Milo kembali ke taman lagi di lain waktu. “Kalian bisa bermain lagi dengan Milo nanti, ya,” janjiku sambil tersenyum.
Di perjalanan pulang, Milo terlihat sangat puas dan lelah setelah seharian bermain. Dia meringkuk di pangkuanku, matanya setengah tertutup, tetapi ekornya tetap bergerak pelan, tanda bahwa dia merasa nyaman dan bahagia. Lulu dan Momo juga tampak tenang di dalam keranjang mereka, menikmati perjalanan pulang yang damai.
Sesampainya di rumah, aku langsung membawa Milo, Lulu, dan Momo ke ruang tamu. Setelah memberi mereka makan dan memastikan mereka nyaman, aku duduk di sofa dengan perasaan yang begitu penuh kebahagiaan. Hari ini benar-benar sempurna. Aku melihat ke arah Milo yang sekarang tidur pulas di tempat tidurnya, dan aku merasa begitu bersyukur.
Memiliki Milo dalam hidupku telah membawa kebahagiaan yang tidak bisa diukur. Setiap hari bersamanya adalah petualangan yang penuh cinta dan kasih sayang. Aku tahu, meskipun ini baru awal dari perjalanan kami bersama, ada begitu banyak kenangan indah yang akan kami ciptakan bersama.
“Aku sayang kamu, Milo,” bisikku pelan sebelum aku pun ikut berbaring di sofa, menikmati keheningan malam yang damai. Hari ini, aku belajar bahwa kebahagiaan tidak hanya datang dari hal-hal besar, tetapi juga dari momen-momen kecil yang penuh cinta dan kehangatan. Dan aku bersyukur karena Milo, Lulu, dan Momo telah menjadi bagian dari momen-momen itu.
Keluarga Baru Di Rumah Siska
Pagi itu, aku terbangun dengan perasaan yang berbeda dari biasanya. Ada kehangatan yang terasa dalam hatiku, dan aku tahu ini semua karena Milo, Lulu, dan Momo. Kehadiran mereka selama beberapa bulan terakhir membuat hidupku semakin ceria. Setiap hari bersama mereka adalah petualangan yang menyenangkan, penuh tawa dan kasih sayang. Namun, pagi ini ada sesuatu yang membuatku lebih bersemangat.
Setelah sarapan bersama ibu, aku melihat Milo yang sedang bersantai di sofa. Lulu dan Momo duduk di dekat jendela, menikmati sinar matahari pagi yang lembut. Mereka tampak begitu tenang, seolah menikmati kehidupan yang damai di rumah kami. Di tengah-tengah suasana hangat itu, tiba-tiba ibu mendekatiku dengan senyum misterius di wajahnya.
“Siska, ada kejutan untukmu,” kata ibu sambil mengedipkan mata. Aku terkejut dan penasaran. Ibu jarang sekali memberikan kejutan, jadi kali ini pasti ada sesuatu yang istimewa. “Apa itu, Bu?” tanyaku dengan mata berbinar penuh harap.
Ibu tersenyum lebar sambil berjalan ke arah pintu. “Ikuti ibu ke halaman belakang,” katanya. Aku merasa jantungku berdebar-debar. Ada perasaan tidak sabar yang membuatku ingin segera tahu kejutan apa yang sedang menantiku. Tanpa pikir panjang, aku mengikuti ibu ke halaman belakang rumah.
Begitu sampai di sana, mataku langsung tertuju pada sebuah kotak kecil yang terletak di bawah pohon mangga tua. Kotak itu tampak bergetar sedikit, dan dari dalamnya terdengar suara mengeong yang pelan. Aku mendekat dengan hati-hati, dan saat membuka tutup kotak itu, aku hampir tidak percaya dengan apa yang kulihat.
Di dalamnya ada tiga ekor anak kucing mungil dengan bulu halus yang masih sangat lembut. Mereka terlihat sangat manis, dengan warna-warna yang beragam satu berwarna putih bersih, satu lagi berbulu abu-abu, dan yang terakhir berwarna oranye cerah. Mata mereka yang besar menatapku dengan polos, seolah bertanya siapa aku.
“Mereka anak-anak kucing yang baru lahir, Siska,” kata ibu dengan suara lembut. “Mereka ditemukan oleh tetangga kita di pinggir jalan, dan karena mereka tahu kamu sangat suka kucing, mereka menitipkan anak-anak kucing ini kepadamu. Apa kamu mau merawat mereka?”
Mata dan hatiku langsung berbinar penuh kegembiraan. “Mau, Bu! Tentu saja aku mau!” seruku tanpa ragu. Aku langsung mengulurkan tangan dan menyentuh anak kucing yang berwarna putih. Tubuhnya kecil dan hangat, dan saat aku mengangkatnya, ia mengeong pelan, lalu melingkarkan tubuhnya di tanganku dengan nyaman. Rasanya begitu menyenangkan bisa menyentuh makhluk kecil yang rapuh ini.
Milo yang sejak tadi diam di belakangku, tiba-tiba mendekat dengan rasa penasaran. Ia mengendus-ngendus kotak itu, lalu melompat ke sampingku dan mulai memperhatikan ketiga anak kucing dengan penuh perhatian. Wajahnya tampak sedikit bingung, seolah bertanya-tanya siapa tamu kecil ini. Namun, setelah beberapa detik, Milo tampak tenang dan bahkan mulai mendekati anak-anak kucing itu, memberikan sentuhan lembut pada kepala mereka dengan hidungnya.
Aku tertawa pelan melihat tingkah Milo. “Lihat, Milo. Kamu punya adik baru sekarang!” Milo mengeong pelan, seolah-olah setuju dengan kata-kataku, lalu duduk di samping kotak itu, mengawasi anak-anak kucing dengan cermat. Dia benar-benar kucing yang penuh kasih sayang.
Hari itu, aku menghabiskan banyak waktu bersama tiga anak kucing baru. Aku menyiapkan tempat tidur yang nyaman untuk mereka di dekat sofa, menggunakan selimut lembut agar mereka merasa hangat dan aman. Aku juga memastikan mereka memiliki susu yang cukup, karena mereka masih terlalu kecil untuk makan makanan padat. Sambil mengelus bulu lembut mereka, aku merasa seolah-olah telah menjadi “ibu” bagi mereka.
Malam harinya, setelah memastikan ketiga anak kucing tidur dengan nyaman, aku duduk di sofa bersama Milo, Lulu, dan Momo. Lulu tampak penasaran dengan kedatangan anak-anak kucing baru, tetapi seperti biasanya, ia tetap tenang dan elegan. Momo, di sisi lain, tampak sedikit lebih tertarik dan mencoba mendekat untuk mengamati mereka lebih dekat.
Sambil melihat ke arah anak-anak kucing yang sedang tidur nyenyak, aku merasa hidupku semakin penuh. Milo, Lulu, dan Momo telah membawa begitu banyak kebahagiaan dalam hidupku, dan sekarang dengan kehadiran tiga anak kucing kecil ini, rasanya hatiku semakin melimpah dengan kasih sayang. Aku tidak bisa berhenti tersenyum, membayangkan betapa serunya kehidupan kami bersama mulai sekarang.
“Mereka pasti akan tumbuh besar dengan cepat,” kata ibu yang tiba-tiba muncul dari dapur sambil membawa secangkir teh. “Dan kamu akan punya lebih banyak teman bermain di rumah.”
Aku mengangguk setuju. “Iya, Bu. Aku merasa sangat beruntung punya mereka. Aku akan merawat mereka dengan baik, sama seperti aku merawat Milo, Lulu, dan Momo.”
Malam itu, sebelum tidur, aku mengucapkan selamat malam kepada Milo, Lulu, Momo, dan tentu saja anak-anak kucing baru. Aku duduk di tepi tempat tidurku, merenung sejenak tentang betapa bahagianya hidupku saat ini. Kehadiran mereka semua membuat setiap hari terasa penuh warna. Rasanya seperti memiliki keluarga kecil yang selalu ada untuk berbagi kebahagiaan dan kasih sayang.
Sebelum mataku tertutup, aku berbisik pelan, “Selamat datang di keluarga kita, anak-anak kecil. Kalian sekarang punya rumah yang penuh dengan cinta.” Dengan perasaan hangat di hatiku, aku tertidur dengan senyum di wajahku, siap menyambut hari-hari ceria yang akan datang bersama keluarga kucingku yang semakin besar.