Cahaya Di Ujung Terowongan: Kisah Afina Dan Perjuangannya Menghadapi Kekerasan

Halo, Para pembaca yang budiman! Dalam cerita mengharukan berjudul “Cahaya di Ujung Terowongan,” kita diperkenalkan kepada Afina, seorang gadis kecil yang menghadapi tantangan hidup yang berat akibat kekerasan di rumah. Meski diselimuti kesedihan, Afina menunjukkan sikap baik hati dan kesabaran yang menginspirasi. Cerita ini akan membawa Anda menyelami perjalanan emosionalnya, di mana ia berusaha menebarkan kebaikan dan harapan di tengah kesulitan. Temukan bagaimana cinta dan ketulusan hati dapat menjadi cahaya penuntun dalam kegelapan, serta pelajaran berharga tentang kekuatan untuk bangkit dari keterpurukan. Mari kita ikuti kisah Afina dan temukan inspirasi dari perjuangannya!

 

Kisah Afina Dan Perjuangannya Menghadapi Kekerasan

Kehidupan Di Balik Senyuman

Afina adalah seorang gadis kecil berusia sepuluh tahun yang selalu terlihat ceria, dengan senyuman lebar yang menghiasi wajahnya. Mata cokelatnya berbinar penuh semangat, dan setiap kali dia tertawa, seolah dunia ini miliknya. Dia memiliki segudang teman di sekolah, dan setiap hari sepulang sekolah, mereka biasanya berkumpul di taman untuk bermain. Namun, di balik senyuman manisnya, ada sebuah kisah yang penuh kesedihan yang hanya dia yang tahu.

Setiap pagi, Afina berangkat ke sekolah dengan semangat. Dia mengenakan seragamnya yang rapi, lengkap dengan dasi yang diikat sempurna oleh ibunya, dan menyandang tas kecil berwarna pink yang dihias dengan gambar karakter kartun favoritnya. Di jalan menuju sekolah, Afina sering menyapa tetangga-tetangganya dengan ramah. Mereka semua menyukainya, tanpa tahu bahwa di rumah, dia menghadapi hal yang jauh berbeda.

Rumah Afina bukanlah tempat yang menyenangkan. Setiap malam, dia mendengar suara keras yang datang dari ruang tamu, suara yang membuat hatinya bergetar. Ayahnya sering pulang dalam keadaan marah, dan Afina tahu apa artinya itu. Ketika amarahnya meluap, semua benda di sekelilingnya seolah menjadi sasaran. Afina selalu berusaha untuk tidak terlihat, mengurung diri di dalam kamarnya dengan perasaan campur aduk antara takut dan sedih.

Satu malam, ketika suara pertengkaran itu semakin keras, Afina duduk di sudut kamarnya, menggenggam boneka beruang kesayangannya. Dia mengingat betapa bahagianya dia saat menerima boneka itu sebagai hadiah ulang tahun dari ibunya setahun yang lalu. “Ini semua akan baik-baik saja,” pikirnya, berusaha menenangkan diri. Dia mencoba mengingat senyuman ibunya, berharap bisa menemukan sedikit kenyamanan dalam ingatan itu. Namun, kenyataannya tidak selalu manis.

Di sekolah, Afina adalah anak yang baik hati. Dia selalu membantu teman-temannya dalam pelajaran dan tidak pernah segan untuk berbagi makanan bekalnya. Suatu ketika, saat sedang istirahat, teman sekelasnya, Siti, kehilangan pensil warna favoritnya. Tanpa pikir panjang, Afina memberikan pensil warnanya yang paling dia sukai kepada Siti. “Kamu bisa pakai ini, Siti. Nanti kita cari pensil warna kamu bersama-sama,” katanya dengan senyum lebar.

Namun, setelah kembali ke rumah, Afina merasa sedih karena harus kehilangan pensil warna yang selama ini menjadi teman baiknya saat menggambar. Dia merasa kesal pada dirinya sendiri karena terlalu baik hati. “Kenapa aku selalu harus memberi?” pikirnya, namun dia tahu, di lubuk hatinya, dia ingin selalu membantu dan melihat orang lain bahagia, meskipun dia harus berkorban.

Di malam harinya, saat berbaring di tempat tidurnya, Afina membayangkan seandainya hidupnya bisa berbeda. Dia membayangkan sebuah rumah yang hangat, dengan tawa dan keceriaan, bukan pertengkaran yang menyakitkan. Dia ingin sekali bisa berbagi cerita bahagia dengan orang tuanya, seperti halnya teman-teman lain di sekolahnya. Namun, setiap kali dia mencoba untuk mendekat, dia hanya menemukan dinding dingin yang menghalanginya.

Walau hidupnya dipenuhi dengan kesedihan dan ketidakpastian, Afina tetap berusaha untuk bersikap baik hati kepada orang lain. Di sekolah, saat guru memberikan tugas untuk menggambar, dia menghabiskan waktu berjam-jam untuk menciptakan sebuah lukisan indah yang menampilkan taman dengan banyak bunga berwarna-warni. “Ini untuk semua teman-teman, supaya mereka bisa tersenyum,” ujarnya dalam hati.

Hanya dia yang tahu bahwa di balik senyum ceria dan sikap baik hatinya, ada banyak kesabaran yang harus dia lalui setiap harinya. Afina berusaha untuk tidak membiarkan situasi di rumah mempengaruhi kebahagiaannya. Dia percaya, suatu hari, semua ini akan berlalu, dan dia bisa menemukan kebahagiaan sejati yang dia impikan. Seperti embun pagi yang perlahan menghapus kabut, Afina yakin bahwa harapan dan kebahagiaan akan datang pada waktunya.

 

Senyuman Yang Tersembunyi

Hari itu adalah hari yang tampak biasa di sekolah. Afina melangkah memasuki gerbang sekolah dengan semangat, meskipun di dalam hatinya ada kerinduan dan kesedihan yang selalu mengintai. Dia tahu, sehabis pelajaran, dia akan kembali ke rumah yang dingin, tempat di mana senyuman tidak lagi bisa terasa hangat. Namun, hari itu dia bertekad untuk memberikan yang terbaik kepada teman-temannya, seperti biasanya.

Pagi itu, setelah pelajaran bahasa Indonesia, guru mengumumkan bahwa akan ada kompetisi menggambar. Semua anak terlihat sangat antusias, terutama saat guru memberikan tema lukisan: “Impian.” Afina menatap lembaran kertas yang bersih dan kosong di hadapannya, dan jiwanya mulai bergetar penuh inspirasi. Dia ingin melukis sebuah dunia yang penuh kebahagiaan dan harapan, tempat di mana semua anak dapat bermain dan tertawa.

Baca juga:  Contoh Cerpen Sudut Pandang Orang Ketiga: 3 Kisah Menarik dari Sudut Pandang Orang Ketiga

Saat jam istirahat tiba, Afina mengambil pensil dan mulai menggambar. Dia mengimajinasikan sebuah taman yang cerah dengan bunga-bunga berwarna-warni, anak-anak yang bermain bola, dan langit yang biru. Dia membayangkan bagaimana rasanya jika kehidupan di rumahnya bisa sama bahagianya dengan lukisan itu. Setiap goresan pensilnya seolah menjadi pelampiasan bagi segala rasa sakit dan harapan yang ingin dia ungkapkan.

Di tengah kesibukannya menggambar, Afina merasakan seorang temannya, Rahma, mendekatinya. “Afina, bolehkah aku melihat gambarmu?” tanya Rahma dengan mata penuh rasa ingin tahu. Afina tersenyum, “Tentu, Rahma. Ini adalah taman impianku.” Rahma memperhatikan lukisan itu dengan seksama, dan kemudian dia berkata, “Wow, indah sekali! Aku ingin menggambar seperti itu. Bolehkah aku pinjam pensilmu?”

Tanpa ragu, Afina memberikan pensilnya kepada Rahma. “Silakan, gunakan saja. Kita bisa menggambar bersama,” ujarnya dengan tulus. Rahma terlihat bahagia, dan Afina merasa senang bisa membantu teman, meskipun dia sendiri harus berkorban.

Ketika waktu menggambar berakhir, guru mengumpulkan semua hasil karya siswa. Afina merasa sedikit cemas menunggu hasil pengumuman, tetapi dia berusaha menenangkan diri. Dia ingat kembali pelajaran tentang kesabaran yang dia dengar dari ibunya. “Setiap usaha akan membuahkan hasil, Afina,” ibunya selalu berkata.

Tiba saatnya pengumuman pemenang. Hati Afina berdebar-debar saat guru mengumumkan bahwa lukisan dengan tema impian terbaik jatuh kepada… bukan pada dirinya. Dia tersenyum ketika mendengar nama Rahma disebut. Temannya itu melompat kegirangan, dan Afina ikut merasakan kebahagiaan meskipun ada rasa kecewa yang menggerogoti hatinya. “Selamat, Rahma! Kamu pantas mendapatkannya,” ucapnya tulus.

Malam harinya, saat Afina kembali ke rumah, dia berusaha menepis rasa sedih yang masih menggelayuti pikirannya. Namun, saat dia membuka pintu rumah, suasana hati itu kembali teringat. Suara keras dan pertengkaran dari ruang tamu menyambutnya. Afina menghela napas panjang dan mencoba untuk tidak terpengaruh. Dia segera menuju kamarnya, duduk di sudut, dan menggenggam boneka beruang kesayangannya.

“Aku harus sabar,” gumamnya pada diri sendiri. Dia membayangkan taman indah yang dia lukis, berpikir bahwa suatu hari dia akan keluar dari situasi ini. Saat mengingat nasihat ibunya, Afina merasa sedikit lebih kuat. Meskipun hidupnya saat ini tidak sempurna, dia percaya akan ada hari-hari cerah di depannya.

Di sekolah keesokan harinya, Afina datang dengan semangat baru. Dia melihat Rahma yang sedang menggambar lagi, dan kali ini dia tidak merasa iri. Sebaliknya, dia merasa bangga bisa memiliki teman sebaik Rahma. Dia mendekati Rahma dan berkata, “Aku senang kamu menang, Rahma. Gambarmu memang sangat indah.”

Rahma tersenyum lebar dan memeluk Afina. “Terima kasih, Afina. Tanpa dukunganmu, aku tidak akan bisa melakukannya.” Keduanya lalu berbagi pensil dan menggambar bersama, membentuk ikatan persahabatan yang semakin kuat.

Afina menyadari bahwa meskipun hidupnya penuh tantangan, di luar sana masih ada harapan dan kebaikan. Dia berjanji pada dirinya sendiri untuk tetap baik hati, bahkan ketika semuanya terasa sulit. Dengan harapan di hati dan senyuman di wajah, Afina mengingatkan dirinya bahwa dia bisa menciptakan kebahagiaan, tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk orang-orang di sekitarnya.

 

Langkah Kecil Menuju Harapan

Hari-hari di sekolah berlalu dengan cepat, tetapi bagi Afina, setiap harinya adalah pelajaran baru tentang kesabaran dan harapan. Dia terus berusaha untuk tetap positif, meskipun hidupnya di rumah sering kali terasa gelap. Ketika dia masuk ke kelas, senyum lebar dari teman-temannya, terutama Rahma, selalu berhasil membuat hatinya terasa lebih ringan. Mereka menjadi seperti dua sahabat sejati yang saling mendukung, terutama di saat-saat sulit.

Minggu itu, sekolah mengadakan kegiatan amal untuk membantu anak-anak yang kurang beruntung. Semua siswa diminta untuk berkontribusi, baik dengan donasi maupun tenaga. Afina langsung merasa tertarik. Meskipun dia tidak memiliki banyak uang untuk didonasikan, dia tahu bahwa dia bisa membantu dengan cara lain. Dia ingin terlibat dalam kegiatan ini, meskipun perasaan sedih dan cemas sering kali menyergapnya.

Afina dan Rahma berencana untuk mengumpulkan donasi dari teman-teman sekelas mereka. Mereka menyusun rencana untuk mengadakan bazar kecil di sekolah. Afina dengan semangatnya menawarkan barang-barang yang sudah tidak terpakai lagi, seperti pakaian, mainan, dan buku-buku. Rahma juga melakukan hal yang sama, bahkan ia mengajak beberapa teman lainnya untuk ikut berpartisipasi.

Hari bazar pun tiba. Afina bangun pagi-pagi sekali, menyiapkan semua barang yang akan dijual. Saat mengemasi barang-barangnya, Afina menemukan buku harian kecil yang sudah lama ia tulis. Ia teringat akan semua impian dan harapan yang ia tulis di dalamnya, termasuk tentang kehidupannya di masa depan. Meski air mata mulai menggenang di matanya, ia menepuk-nepuk buku itu, berusaha menghapus kesedihan yang menyelimuti hatinya.

Baca juga:  Petualangan Seru Zio: Keceriaan Dan Persahabatan Di Alam Terbuka

“Afina, kamu siap?” tanya Rahma dengan semangat yang menggebu. Senyum cerahnya menular ke Afina, dan dia merasakan kehangatan dari persahabatan mereka.

Di bazar, suasana sangat ramai. Anak-anak berdatangan membawa barang-barang yang ingin mereka sumbangkan, dan suara tawa serta keceriaan terdengar di mana-mana. Afina dan Rahma mengambil tempat di sudut lapangan, menata barang-barang mereka dengan rapi. Meskipun terasa sedikit canggung, Afina merasa ada sesuatu yang membahagiakan di dalam hatinya.

“Mari kita buat spanduk!” ajak Rahma. Mereka kemudian membuat spanduk bertuliskan, “Bazar Amal untuk Anak-Anak yang Membutuhkan.” Afina dengan penuh semangat menambahkan gambar-gambar ceria di sekitar spanduk, berharap bisa menarik perhatian lebih banyak orang.

Beberapa jam berlalu, dan bazar berjalan dengan baik. Banyak barang yang terjual, dan Afina merasa bangga karena bisa berkontribusi. Dia melihat wajah-wajah bahagia dari teman-temannya yang membeli barang-barang itu. Keceriaan mereka mengingatkannya pada impian yang ia lukis di kertas kosong beberapa waktu lalu.

Namun, di tengah kegembiraan itu, saat dia sedang menjajakan barang-barangnya, dia mendengar suara yang membuatnya tertegun. Seorang anak lelaki, tidak lebih dari sepuluh tahun, berdiri di dekat meja mereka, menatap barang-barang dengan mata penuh harap. Dia terlihat sangat kurus dan mengenakan pakaian yang sudah pudar.

Afina merasa hati kecilnya bergetar. Tanpa berpikir panjang, ia menghampiri anak tersebut dan bertanya, “Apakah kamu ingin melihat-lihat, nak?” Anak itu mengangguk pelan.

“Aku tidak punya uang, Kak,” katanya dengan suara pelan, seolah mengisyaratkan rasa malu yang mendalam.

Tanpa ragu, Afina tersenyum lembut dan menjawab, “Tak apa-apa, kamu boleh memilih satu barang gratis. Ini untuk membantu anak-anak yang membutuhkan, dan kamu adalah salah satunya.”

Mata anak itu langsung bersinar. “Benarkah? Aku boleh memilih?” tanya anak itu dengan nada tidak percaya.

“Ya, tentu saja. Silakan pilih yang kamu suka,” jawab Afina.

Anak itu dengan hati-hati memilih sebuah boneka kecil yang tampak sedikit usang, tetapi bagi Afina, boneka itu memiliki nilai tersendiri. Melihat senyum di wajah anak itu membuat hati Afina bergetar. “Terima kasih, Kak! Ini sangat berarti bagiku,” katanya, lalu berlari pergi dengan boneka itu seolah-olah itu adalah harta termahal di dunia.

Afina merasa ada sesuatu yang hangat mengalir dalam hatinya. Tindakan kecil yang ia lakukan membuatnya merasa memiliki tujuan baru. Meskipun hidupnya dipenuhi kesedihan dan ketidakpastian, dia menyadari bahwa dengan memberi kepada orang lain, dia bisa merasakan kebahagiaan yang tulus.

Kegiatan bazar berakhir dengan sukses, dan hasil donasi yang terkumpul cukup banyak. Afina dan Rahma merasa bangga, tidak hanya karena uang yang terkumpul, tetapi juga karena mereka telah menyebarkan kebaikan di tengah-tengah teman-teman mereka. Keduanya berjanji untuk terus melakukan kegiatan amal seperti ini di masa depan.

Malam harinya, saat Afina kembali ke rumah, dia masih merasakan kehangatan dari pengalaman hari itu. Meskipun di rumah suasana masih terasa tegang dengan pertengkaran antara orang tuanya, Afina berusaha untuk tidak membiarkan itu mempengaruhi dirinya. Dia mengingat kembali senyum anak kecil yang menerima boneka darinya dan merasa harapan dalam dirinya semakin kuat.

Dengan penuh keteguhan, Afina berjanji pada diri sendiri untuk terus bersabar dan berusaha menebar kebaikan. Dia yakin bahwa setiap langkah kecil yang dia ambil, seberapapun kecilnya, akan membawa dampak besar di masa depan. Dan walaupun hidupnya tidak sempurna, dia percaya bahwa kesabaran dan kebaikan hati adalah dua hal yang paling berharga yang bisa dimilikinya.

 

Cahaya Di Ujung Terowongan

Malam menjelang, dan Afina berbaring di tempat tidurnya, tatapannya kosong menatap langit-langit kamar. Suara pertengkaran orang tuanya kembali menggaung di telinganya, membangkitkan rasa cemas yang membuatnya sulit tidur. Sebuah rasa sedih mendalam merayap ke dalam hatinya, tetapi ia berusaha keras untuk mengingat semua kebaikan yang telah ia berikan hari itu. Saat-saat di bazar, terutama senyum anak lelaki kecil yang berlari pergi dengan boneka yang ia berikan, memberikan sedikit kekuatan padanya.

Meskipun kehadiran pertengkaran itu membuat hatinya berat, Afina berusaha untuk tidak membiarkan keadaan di rumah menghancurkan semangatnya. Dia mengingat betapa pentingnya untuk tetap baik hati, bahkan ketika dunia di sekelilingnya terasa gelap. Dia menggenggam bantalnya, berusaha untuk merasakan kehangatan dan ketenangan. Hatinya dipenuhi harapan bahwa suatu hari, semuanya akan membaik.

Keesokan harinya, saat pergi ke sekolah, Afina bertemu dengan Rahma. Mereka berjalan bersama di sepanjang jalan setapak, di bawah sinar matahari pagi yang hangat. Rahma, dengan semangatnya yang tak pernah pudar, mulai bercerita tentang rencana mereka untuk mengadakan kegiatan amal lagi dalam waktu dekat. “Kita bisa melakukan lebih banyak! Mungkin kita bisa mengundang orang tua dan semua teman sekelas untuk ikut berpartisipasi,” saran Rahma.

Baca juga:  Cerpen Tentang Durhaka Kepada Orang Tua: Kisah Penuh Penyesalan dan Pemulihan

“Ya, itu ide yang bagus!” jawab Afina, meskipun hatinya terasa berat. Di dalam dirinya, dia merindukan suasana damai dan bahagia seperti yang pernah dia rasakan. Tetapi setiap kali dia melihat antusiasme Rahma, sedikit demi sedikit, semangatnya mulai tumbuh kembali.

Selama beberapa minggu ke depan, Afina dan Rahma bekerja sama untuk mempersiapkan kegiatan amal tersebut. Mereka mendatangi banyak teman-teman sekelas, mengundang mereka untuk berpartisipasi, dan menjelaskan betapa pentingnya membantu anak-anak yang membutuhkan. Afina mengumpulkan lebih banyak barang-barang layak pakai dari rumah dan juga mendapatkan beberapa sumbangan dari teman-teman sekolahnya. Dia merasa bahagia bisa berkontribusi, meskipun tantangan di rumah masih ada.

Namun, di balik senyumnya, Afina masih merasakan kesedihan yang mendalam. Ia selalu berusaha menyembunyikannya dari teman-temannya, terutama Rahma. Dia tidak ingin membebani sahabatnya dengan masalah pribadinya. Afina terus berlatih untuk bersabar dan berusaha menebar kebaikan di sekitar, tetapi setiap malam saat dia kembali ke rumah, ketidakpastian dan ketegangan di keluarganya kembali membawanya pada kesedihan.

Suatu malam, setelah pulang sekolah, Afina mendapati ibunya duduk di meja makan dengan air mata yang mengalir di pipinya. Ibu tampak sangat lelah dan putus asa. Hati Afina bergetar, melihat sosok yang selalu ia anggap kuat kini tampak rapuh. Tanpa berpikir panjang, Afina langsung menghampiri ibunya dan memeluknya erat. “Ibu, ada apa? Kenapa Ibu menangis?” tanya Afina, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di matanya.

“Ibu hanya merasa lelah, nak. Semua ini terlalu sulit untuk Ibu. Tapi Ibu baik-baik saja,” jawab ibunya, meskipun suaranya bergetar.

Afina tidak ingin melihat ibunya dalam kesedihan. Dalam hatinya, dia berdoa agar mereka bisa bersama-sama melewati masa-masa sulit ini. “Ibu, mari kita bersama-sama menghadapi semuanya. Aku akan berusaha lebih keras untuk membantu Ibu dan Ayah. Kita pasti bisa melalui ini,” katanya dengan penuh keyakinan, meskipun hatinya bergetar.

Dengan penuh kesabaran, Afina berusaha membantu ibunya. Dia mulai melakukan lebih banyak tugas rumah tangga—membersihkan, memasak, dan mengurus adik-adiknya. Ia bertekad untuk mengurangi beban yang dirasakan ibunya. Dalam setiap tugas yang ia lakukan, Afina berusaha untuk bersyukur dan tetap positif. Dia tahu bahwa meskipun situasinya sulit, kebahagiaan bisa ditemukan dalam hal-hal kecil.

Hari-hari berlalu, dan kegiatan amal yang mereka persiapkan semakin dekat. Afina merasa sedikit lebih kuat dengan setiap usaha yang dilakukannya, meskipun ia tidak bisa sepenuhnya menghilangkan rasa sedih dan kesepian yang kadang-kadang menghantuinya. Suatu pagi menjelang kegiatan amal, saat Afina tengah menyiapkan barang-barang, ia menerima pesan dari Rahma yang menanyakan bagaimana persiapan mereka. Afina merespons dengan penuh semangat, berusaha untuk tidak membiarkan kesedihannya mengganggu kebahagiaannya.

Pada hari H, Afina dan Rahma tiba di lokasi kegiatan amal dengan penuh semangat. Mereka disambut oleh teman-teman sekelas dan para orang tua yang sangat mendukung. Suasana penuh keceriaan, dan semua orang bekerja sama untuk menjadikan acara itu sukses. Afina merasa begitu bahagia melihat semua orang bersatu demi tujuan mulia.

Ketika mereka membagikan barang-barang kepada anak-anak yang membutuhkan, Afina merasakan kebahagiaan yang tulus dalam hatinya. Dia melihat anak-anak kecil dengan senyuman di wajah mereka, dan perasaan sedih yang pernah mengisi hatinya perlahan-lahan memudar. Melihat keceriaan mereka memberi Afina kekuatan untuk terus melangkah.

Kegiatan amal itu menjadi momen penting bagi Afina. Dia menyadari bahwa kesabaran dan kebaikan yang dia tanam dalam hidupnya tidak hanya membantu orang lain tetapi juga menyembuhkan dirinya sendiri. Dengan langkah kecil dan penuh harapan, Afina bertekad untuk terus berbuat baik, untuk menjadi cahaya di kegelapan, tidak hanya bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi orang-orang di sekelilingnya.

Di akhir acara, saat malam tiba, Afina merenungkan perjalanan yang telah dilaluinya. Ia tahu bahwa hidup tidak selalu mudah, tetapi ia juga tahu bahwa ada kekuatan dalam kebaikan. Meskipun ada banyak tantangan yang harus dihadapi, dia berjanji untuk tetap bersabar dan berusaha menjadi pribadi yang lebih baik. Sebab, di dalam hatinya, dia yakin bahwa setiap kebaikan yang dia lakukan akan kembali padanya, dan setiap tetes air mata akan mengajarinya untuk lebih kuat dan lebih baik.

 

 

Di akhir perjalanan kisah Afina, kita diingatkan bahwa meski hidup seringkali menghadirkan tantangan dan kesedihan, harapan dan kebaikan hati selalu bisa mengubah situasi. Dengan keberanian dan keteguhan, Afina mengajarkan kita arti kesabaran dan pentingnya melawan ketidakadilan. Semoga cerita ini menjadi pengingat bagi kita semua untuk terus menyebarkan kebaikan dan menjadi suara bagi mereka yang tak terdengar. Terima kasih telah mengikuti perjalanan Afina. Mari kita jaga hati kita tetap peka terhadap penderitaan orang lain dan berkontribusi dalam menciptakan dunia yang lebih baik. Sampai jumpa di cerita selanjutnya, dan semoga setiap langkah kita dipenuhi dengan cinta dan harapan!

Leave a Comment