Cerita Cinta Romantis Anak Kost: Ketulusan Di Tengah Kesederhanaan

Hai, Sahabat pembaca! Cerita cinta selalu memiliki pesona tersendiri, terutama ketika datang dari kehidupan sederhana anak kost yang penuh tantangan dan kemandirian. Dalam cerpen ini, kita akan menyaksikan bagaimana kisah cinta tumbuh di antara tawa, kebahagiaan, dan momen-momen romantis yang menyentuh hati. “Ketulusan di Tengah Kesederhanaan” mengisahkan Rina, seorang wanita mandiri yang menemukan cinta sejati dalam kehidupan kost yang penuh warna. Simak bagaimana perjalanan cinta mereka mengajarkan arti kebahagiaan yang datang dari ketulusan dan kesederhanaan.

 

Cerita Cinta Romantis Anak Kost

Awal Kehidupan Kost

Aku selalu merasa kehidupan kost adalah pengalaman yang membebaskan. Tinggal jauh dari orang tua membuatku lebih mandiri, dan aku selalu menikmati setiap rutinitas kecil yang kulakukan sendiri. Pagi-pagi sekali, aku akan bangun, menyiapkan sarapan ringan seperti roti bakar dan kopi hitam, lalu duduk di meja belajar yang menghadap jendela kamarku. Sinar matahari pagi selalu terasa menenangkan, seolah memberi semangat baru setiap kali menyapaku.

Hari-hariku di kost selalu terisi penuh kuliah, belajar, dan mengurus segala sesuatu sendiri. Banyak yang bilang hidup di kost itu sepi, tapi aku tidak pernah merasa demikian. Teman-teman kost di sini baik dan menyenangkan. Kami sering berkumpul di ruang tamu kost atau di balkon depan, bercanda sambil menikmati udara sore. Suasana hangat yang selalu membuatku merasa di rumah meskipun jauh dari keluarga.

Namun, satu hari di minggu pertama setelah pindah, ada yang berbeda. Aku sedang sibuk mengatur ulang kamar setelah pulang dari kampus ketika tiba-tiba terdengar suara ketukan pelan di pintu. Aku membukanya dan melihat seorang pria berdiri di sana, tersenyum canggung. Tingginya sekitar satu kepala lebih tinggi dariku, dengan rambut hitam agak berantakan namun terkesan kasual. Aku langsung mengenali wajahnya dia salah satu penghuni baru di kost ini.

“Hei, maaf ganggu. Aku Bima, anak baru di sini. Tadi, pintu kamarku macet, kamu punya obeng, nggak?” tanyanya dengan suara lembut.

“Oh, iya, aku punya. Tunggu sebentar, ya.” Aku tersenyum, lalu berbalik menuju lemari kecilku, mengambil obeng, dan menyerahkannya padanya.

“Terima kasih, Rina, ya? Aku dengar dari teman-teman kamu anak paling rajin di sini,” dia terkekeh sambil mengambil obeng itu.

Aku tertawa kecil, merasa sedikit tersipu. “Ah, nggak juga. Hanya suka mengatur waktu saja,” jawabku dengan senyum.

Sejak saat itu, kami mulai sering bertemu. Awalnya hanya sekedar menyapa di lorong atau saat bertemu di dapur umum kost. Bima ternyata orangnya cukup ramah, meskipun pada awalnya dia terlihat agak pendiam. Ada sesuatu yang nyaman tentang dia—sikapnya yang tenang dan senyum ringannya yang selalu menghiasi wajahnya saat berbicara. Aku pun mulai merasa penasaran, ingin tahu lebih banyak tentangnya.

Suatu sore, ketika aku sedang menikmati waktu santai di balkon kost, Bima muncul lagi. Kali ini, dia membawa dua gelas es kopi dan langsung duduk di sebelahku. Aku sempat terkejut, tapi dia hanya tersenyum lebar.

“Untuk kamu,” katanya sambil menyerahkan segelas es kopi kepadaku.

“Eh, makasih! Kamu baik banget,” kataku sambil menerima gelas itu.

“Tenang aja, aku cuma ingin sedikit ngobrol. Kelihatannya kamu selalu sibuk, jadi mungkin bisa santai sebentar?” dia tertawa kecil.

Aku mengangguk, dan untuk pertama kalinya, kami duduk berdua cukup lama, mengobrol tentang banyak hal. Mulai dari cerita soal kuliah, sampai pengalaman tinggal di kost. Bima ternyata bukan hanya sekadar ramah, tapi juga pandai membuat suasana jadi menyenangkan. Setiap kali dia menceritakan lelucon kecil atau berbagi pengalamannya, aku merasa waktu berjalan begitu cepat.

Sore itu, angin berhembus lembut, membawa harum bunga dari taman kecil di depan kost. Langit mulai berubah warna, memancarkan nuansa jingga dan merah muda yang memukau. Aku menatap langit sejenak, lalu melihat ke arah Bima yang sedang menatap jauh ke depan, terlihat begitu tenang. Ada sesuatu dalam tatapan matanya yang membuatku merasa tenang, nyaman.

“Dunia ini indah, ya?” Bima tiba-tiba berkata, suaranya rendah namun penuh makna.

Aku mengangguk pelan. “Iya, kadang-kadang aku lupa betapa indahnya. Apalagi kalau lagi sibuk sama tugas kuliah,” jawabku sambil tertawa kecil.

“Kamu tahu nggak, kadang hal-hal kecil seperti ini yang membuat hidup jadi lebih berarti. Seperti duduk bareng di balkon, ngobrol, melihat langit berubah warna… simpel, tapi bermakna,” katanya sambil menatapku.

Hatiku berdebar sedikit. Ada sesuatu dalam kata-katanya yang terasa begitu jujur dan tulus. Aku hanya bisa tersenyum, tidak tahu harus berkata apa. Di dalam hati, aku merasa ada sesuatu yang berbeda tentang pertemuan kami kali ini. Sesuatu yang hangat dan manis, meski belum bisa kupahami sepenuhnya.

Sejak sore itu, aku merasa hubungan kami semakin dekat. Bima bukan hanya teman kost, tapi seseorang yang selalu membuat hariku sedikit lebih cerah. Di balik kemandirian yang selalu kubanggakan, ternyata ada ruang di hatiku yang perlahan mulai terbuka untuknya.

Pertemuan tak terduga itu menjadi awal dari sesuatu yang lebih indah dari yang pernah kubayangkan.

 

Kejutan Di Tengah Malam

Malam itu, aku sedang asyik menyelesaikan tugas kuliah yang entah kenapa terasa lebih sulit dari biasanya. Suasana kamar kostku sunyi, hanya terdengar dentingan pelan keyboard laptop dan sesekali bunyi kipas angin yang berputar. Aku berusaha fokus, tetapi mataku mulai terasa berat. Pikiranku seakan melayang, dan aku berpikir sejenak untuk mengambil secangkir kopi agar tetap terjaga.

Namun, sebelum aku sempat bangun, tiba-tiba terdengar suara ketukan pelan di pintu kamar. Siapa yang datang malam-malam begini? Jam sudah menunjukkan pukul sebelas lebih. Dengan sedikit rasa penasaran, aku melangkah menuju pintu dan membukanya perlahan.

Di sana, berdiri Bima dengan senyum khasnya yang selalu terlihat tenang, kali ini sambil memegang dua bungkus besar plastik putih.

Baca juga:  Cerpen Tentang Workshop: Kisah Menghadapi Tujuan Kesuksesan

“Hei, aku nggak ganggu, kan?” tanyanya dengan nada yang hampir berbisik.

Aku terkejut sekaligus senang melihatnya. “Nggak, nggak sama sekali. Ada apa malam-malam bawa plastik besar gitu?”

Bima tersenyum lebih lebar. “Ini buat kamu. Aku tahu kamu suka ngemil kalau lagi ngerjain tugas, jadi aku beli beberapa camilan di warung dekat sini. Mereka baru buka toko 24 jam, lho.”

Rasa bahagia menyelimuti hatiku. Bukan karena camilannya, tapi karena perhatian kecilnya. Aku selalu bilang ke teman-teman, “aku anak kost yang mandiri, nggak butuh banyak bantuan.” Tapi di balik itu, perhatian-perhatian sederhana seperti ini selalu mampu mencairkan hatiku.

“Serius? Wah, makasih banget, Bim! Aku lagi butuh banget ini. Tugas kuliah hari ini bikin pusing!” Aku tertawa kecil sambil mempersilahkannya masuk ke kamar.

Bima duduk di kursi kayu di dekat meja belajarku, sementara aku menyiapkan tempat di lantai dengan beberapa bantal untuk duduk. Aku membuka bungkusan plastik itu, dan di dalamnya ada berbagai macam camilan favoritku keripik pedas, wafer cokelat, dan beberapa bungkus permen yang sering kubawa ke kampus.

“Ini semua kesukaanku! Kamu beneran tahu seleraku, ya,” kataku dengan nada bercanda.

Bima tertawa pelan. “Yah, aku sering lihat kamu beli ini di kantin kampus.”

Aku merasa wajahku sedikit memerah. Ternyata dia memperhatikan hal-hal kecil seperti itu. Aku memang sering beli camilan di kampus, tapi tidak pernah terpikir kalau dia memperhatikan sampai detail seperti ini.

Setelah beberapa saat mengobrol, kami mulai membahas tugas kuliah. Bima menawarkan bantuan untuk menyelesaikan beberapa bagian yang sulit, dan tanpa ragu aku menerima tawarannya. Dia selalu cerdas dalam menjelaskan hal-hal rumit dengan cara yang mudah dimengerti, dan malam itu pun tidak berbeda.

Namun, di balik diskusi serius tentang tugas, ada momen-momen kecil yang terasa lebih istimewa. Tawa kecilnya ketika aku salah menjawab pertanyaan, cara dia menatapku ketika aku mencoba serius, dan bahkan bagaimana dia sesekali mengacak-acak rambutnya saat berpikir keras. Semua itu membuat malam yang tadinya terasa berat, menjadi penuh kebahagiaan.

Jam sudah menunjukkan tengah malam ketika kami akhirnya menyelesaikan tugas. Aku menghela napas lega dan tersenyum puas, melihat dokumen di layar laptop yang sudah rapi.

“Thanks, Bima. Kamu penyelamatku malam ini!” kataku sambil memberikan high-five yang dia balas dengan senang hati.

“Ya, sama-sama. Aku senang bisa bantu,” jawabnya dengan suara rendah yang terdengar tulus.

Suasana kembali hening sejenak. Hanya ada bunyi kipas angin yang berputar dan suara pelan musik dari laptopku. Aku menatap Bima, dan dia sedang memandang ke arah jendela kamar yang terbuka. Udara malam masuk, membawa angin sejuk yang membuat suasana semakin tenang.

“Aku selalu suka malam seperti ini,” ucapnya tiba-tiba. “Tenang, nggak ada kebisingan, dan kita bisa bicara tanpa gangguan.”

Aku mengangguk setuju. Malam memang punya caranya sendiri untuk membuat segalanya terasa lebih intim, lebih dekat. Apalagi, bersama seseorang yang membuatmu nyaman seperti Bima. Ada perasaan bahagia yang mengalir dalam diriku, seperti menemukan kebahagiaan dalam kesederhanaan.

“Bima,” kataku pelan. “Terima kasih untuk malam ini. Aku nggak cuma bicara soal tugas, tapi semuanya. Rasanya beda aja kalau kamu ada di sini.”

Dia menatapku, kali ini dengan senyum yang lebih lembut. “Aku juga merasa begitu. Nggak tau kenapa, tapi aku senang bisa ngobrol sama kamu, bahkan kalau cuma tentang hal-hal kecil.”

Jantungku berdebar lebih kencang. Ada perasaan yang mulai tumbuh dalam hatiku, perasaan yang selama ini mungkin kusangkal. Ternyata, kebersamaan yang sederhana bisa meninggalkan jejak yang dalam. Di balik tawa dan obrolan ringan kami, ada sesuatu yang lebih kuat, sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Waktu terasa berhenti sejenak. Di tengah heningnya malam, aku merasakan kebahagiaan yang tak bisa kujelaskan. Mungkin ini awal dari sesuatu yang baru, sesuatu yang belum pernah kurasakan sebelumnya.

Bima memecahkan keheningan dengan menguap kecil. “Sepertinya aku harus balik ke kamar sekarang. Udah malam banget.”

Aku hanya mengangguk pelan. “Iya, kamu juga butuh istirahat. Terima kasih lagi, Bima.”

Dia berdiri dan melangkah menuju pintu, tapi sebelum keluar, dia berhenti sejenak dan menatapku sekali lagi.

“Rina… malam ini menyenangkan. Aku harap kita bisa mengulangnya lagi.”

Aku tersenyum lebar, perasaan hangat menyelimuti hatiku. “Tentu. Sampai ketemu besok, Bima.”

Dia melambai kecil sebelum menutup pintu di belakangnya, meninggalkan aku sendirian di kamar dengan perasaan bahagia yang masih membekas. Malam itu bukan hanya tentang tugas kuliah yang selesai, tapi tentang kebahagiaan yang ditemukan dalam momen-momen kecil yang tak terduga.

 

Kejutan Di Tengah Hujan

Malam itu, hujan deras tiba-tiba turun ketika aku baru saja selesai membeli beberapa barang di minimarket dekat kost. Aku berdiri di bawah atap toko, menatap rintik-rintik air yang tak kunjung berhenti. Suasana yang tadinya hangat mendadak berubah jadi dingin, tapi ada sesuatu yang menyenangkan dengan suara hujan ini seolah-olah ada keajaiban yang akan datang.

Aku memutuskan untuk menunggu hujan reda. Handphone di tanganku menunjukkan beberapa pesan dari grup teman-teman kuliah, tetapi tidak ada yang terlalu penting. Aku menghela napas panjang, merapatkan jaket agar tak terlalu kedinginan. Namun, entah kenapa ada perasaan sedikit kesepian malam itu, meski baru tadi siang aku tertawa bersama teman-temanku di kampus.

Tiba-tiba, dari kejauhan, kulihat sosok yang sangat kukenal. Langkahnya cepat, rambutnya sedikit basah karena hujan, tetapi senyum di wajahnya tak pernah berubah. Itu Bima. Dia berjalan mendekat dengan jaket yang sudah separuh basah. Sejenak, aku merasa geli melihat penampilannya yang sedikit kacau, tetapi tetap saja ada perasaan hangat yang timbul setiap kali melihatnya.

“Rina?” Dia menghampiriku dengan nada terkejut tapi penuh perhatian. “Kamu di sini? Hujan-hujanan, ya?”

Baca juga:  Menjadi Inspirasi di Panti Asuhan: Kisah Aira, Anak Sholihah Yang Mengubah Hari Anak-anak Dengan Kebaikan Dan Keceriaan

Aku tertawa kecil. “Nggak, aku nunggu hujan reda aja. Kamu sendiri kok bisa di sini?”

Bima menggaruk kepala, terlihat sedikit canggung. “Aku baru balik dari tempat temen, dan tiba-tiba hujan deras begini. Lihat kamu di sini, yaudah aku mampir.”

Melihatnya seperti itu membuat hatiku semakin hangat. Di tengah hujan yang mendinginkan, perasaanku malah semakin hangat. Ada sesuatu yang menyenangkan saat Bima ada di dekatku, bahkan dalam momen sederhana seperti ini. Tanpa perlu berkata-kata, kehadirannya selalu membuatku merasa nyaman dan… bahagia.

“Kamu nggak bawa payung, ya?” tanyanya lagi, sambil menatap ke langit yang terus saja menumpahkan air tanpa henti.

Aku menggeleng pelan, “Nggak, aku nggak kepikiran bakal hujan deras begini.”

“Yaudah, aku punya ide. Mau lari ke kost kamu bareng? Sambil hujan-hujanan,” Bima berkata dengan senyum nakalnya, membuatku tertawa spontan.

“Lari? Hujan-hujanan? Kamu serius?” tanyaku sambil menahan tawa. Di satu sisi, ide itu terdengar konyol. Tapi di sisi lain, itu juga terdengar seru dan… romantis?

Bima mengangguk mantap. “Iya! Kapan lagi kita bisa hujan-hujanan bareng, Rina? Ayo, biar nggak terlalu dingin. Lagian kost kamu kan deket.”

Ada dorongan di dalam hatiku yang mengalahkan rasa ragu. Ini memang hal yang bodoh, tapi juga terdengar menyenangkan. Tanpa pikir panjang lagi, aku mengangguk.

“Oke, ayo!”

Tanpa menunggu lama, kami langsung berlari menembus hujan. Awalnya dingin, tentu saja. Hujan deras membasahi jaketku, dan air menetes dari ujung rambutku. Tapi seiring kami berlari, aku mulai merasakan keceriaan yang luar biasa. Tawa kami pecah di tengah derasnya hujan, seolah tak peduli dengan dunia di sekitar.

Sesekali, Bima menoleh ke arahku dan tersenyum, membuat jantungku berdebar kencang. Entah kenapa, dalam hujan yang deras ini, aku merasa lebih dekat dengannya. Ada kebahagiaan yang tumbuh, bukan hanya karena momen hujan-hujanan ini, tetapi karena aku bersama dia seseorang yang selalu membuat segalanya terasa lebih baik.

Akhirnya, setelah beberapa menit berlari, kami sampai di depan kostku. Nafas kami terengah-engah, dan tubuh kami basah kuyup. Aku menatap Bima yang juga tertawa kelelahan, tetapi senyumnya tetap tidak pudar. Wajahnya, meskipun basah, tampak begitu cerah.

“Seru, kan?” tanyanya sambil masih tersenyum lebar.

Aku hanya bisa tertawa dan mengangguk. “Iya, gila sih, tapi seru banget!”

Untuk sesaat, kami berdiri di sana, di bawah atap kecil kostku, sambil menunggu napas kami kembali normal. Hujan masih turun, meskipun tak sekeras tadi. Udara malam terasa lebih sejuk, tapi entah kenapa, ada kehangatan yang tetap bertahan di antara kami. Momen ini terasa begitu spesial.

Bima menatapku, dan kali ini tatapannya lebih dalam. Aku merasakan debaran yang semakin kuat di dalam dadaku. Ada sesuatu di matanya yang membuatku merasa lebih terhubung dengannya. Sebuah rasa yang belum pernah kurasakan sebelumnya.

“Rina,” ucapnya pelan, suaranya sedikit serak karena udara dingin. “Aku senang bisa bareng kamu malam ini.”

Kata-katanya sederhana, tapi penuh makna. Aku merasakan pipiku memanas meskipun udara dingin menyelimuti kami. Aku menunduk sejenak, merasa malu, tapi juga bahagia.

“Aku juga, Bima,” jawabku pelan, tetapi penuh kejujuran. “Terima kasih… untuk semuanya.”

Bima tersenyum lagi, dan kali ini dia mendekat, berdiri lebih dekat dariku. Hati kecilku berdebar kencang, seolah-olah dunia di sekitar kami menghilang, menyisakan hanya aku dan dia di bawah atap kecil ini.

“Kalau gitu… aku pamit dulu, ya. Kamu masuk dan ganti baju biar nggak kedinginan,” katanya lembut sambil sedikit menjauh.

Aku mengangguk pelan, meskipun dalam hati sebenarnya aku masih ingin berada di sini, di dekatnya, lebih lama lagi. Tapi aku tahu, malam ini sudah sangat berkesan, dan mungkin kami akan punya lebih banyak momen seperti ini di lain waktu.

“Jaga diri, ya,” kataku pelan.

Bima tersenyum lagi, lalu melambai sebelum berbalik dan berjalan menembus sisa hujan. Aku menatap punggungnya yang perlahan menghilang di balik kegelapan, dengan perasaan yang campur aduk antara bahagia, haru, dan entah apa lagi. Tapi satu hal yang pasti, malam ini akan selalu kuingat sebagai malam di mana aku merasakan kebahagiaan yang tulus dan sederhana bersama seseorang yang spesial.

Aku masuk ke kamar kost dengan perasaan yang tak bisa kugambarkan. Tubuhku mungkin basah kuyup dan sedikit dingin, tetapi hatiku terasa hangat. Mungkin, ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi aku tahu bahwa momen seperti ini adalah yang akan selalu kubawa dalam hatiku.

 

Tanda-Tanda Cinta Yang Bersemi

Setelah malam hujan-hujanan itu, hubungan antara aku dan Bima mulai berubah. Tidak ada yang terlalu kentara, tapi aku bisa merasakan bahwa setiap kali kami bertemu, ada sesuatu yang berbeda. Rasanya seperti udara di sekitar kami selalu terasa lebih hangat, seolah-olah ada percikan perasaan yang mulai tumbuh tanpa aku sadari.

Hari itu, matahari bersinar cerah setelah beberapa hari hujan. Langit biru tanpa awan, seolah-olah cuaca ikut merayakan suasana hatiku yang cerah. Aku sedang bersiap untuk kuliah ketika notifikasi di ponselku berbunyi. Pesan dari Bima.

“Hai, Rina. Kamu sibuk nggak siang ini? Aku pengen ngajak kamu ke tempat favoritku. Ada waktu nggak?”

Aku tersenyum membaca pesannya. Jujur saja, setelah malam itu, aku sering memikirkan Bima. Dia selalu hadir di pikiranku, meski kami tidak selalu bersama. Setiap kali dia muncul dalam percakapan atau hanya sekadar menyapaku, ada getaran halus yang mengisi dadaku.

Tanpa berpikir panjang, aku membalas, “Nggak sibuk kok, ada waktu. Mau ke mana, Bi?”

Tak lama kemudian, Bima membalas, “Aku jemput kamu di kost jam 11, ya. Siap-siap!”

Baca juga:  Persahabatan Dan Keceriaan: Kisah Nia, Anak Yang Gaul Dan Penuh Kebahagiaan

Hatiku berdebar. Ada sesuatu yang menggelitik di perutku, campuran antara kegembiraan dan antisipasi. Aku menghabiskan sisa pagi itu dengan sedikit lebih banyak perhatian pada penampilanku daripada biasanya. Bukan berarti aku ingin tampil sempurna, tapi entah kenapa aku merasa ingin terlihat spesial di depannya.

Tepat pukul 11, Bima sudah menunggu di depan kostku dengan motor kesayangannya. Aku keluar dengan senyum lebar di wajah, dan dia langsung melambaikan tangan.

“Kita mau ke mana?” tanyaku sambil memasang helm.

“Ke tempat yang jarang orang tahu, tapi menurutku sangat indah. Aku yakin kamu bakal suka,” jawabnya dengan mata berbinar, seperti ada kejutan yang sedang ia siapkan.

Kami melaju dengan motor, meninggalkan hiruk-pikuk kota. Angin yang sejuk menerpa wajahku, dan aku menikmati setiap detik perjalanan ini. Sesekali, Bima menoleh ke belakang untuk memastikan aku nyaman, dan setiap kali dia melakukannya, ada senyuman yang muncul di bibirku. Rasanya seperti kami sedang dalam petualangan kecil yang hanya milik kami berdua.

Setelah sekitar 20 menit berkendara, kami tiba di tempat yang diceritakan Bima. Itu adalah sebuah bukit kecil di pinggiran kota, dengan pemandangan yang menakjubkan. Di sana, kami bisa melihat seluruh kota dari kejauhan, seolah-olah semua gedung, jalan, dan hiruk-pikuk kota berubah menjadi lukisan yang indah. Tidak ada suara bising kendaraan, hanya suara angin dan burung yang sesekali berkicau.

“Ini tempat favoritku,” kata Bima sambil menunjuk ke arah pemandangan yang terbentang di depan kami. “Setiap kali aku merasa penat atau butuh waktu untuk berpikir, aku selalu datang ke sini.”

Aku tertegun. Tempat ini memang indah, lebih dari yang kubayangkan. Aku menoleh ke arahnya dan tersenyum. “Terima kasih udah ngajak aku ke sini, Bima. Ini tempat yang luar biasa.”

Bima balas tersenyum, tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda dalam tatapannya. Dia tampak lebih tenang, lebih serius. Kami duduk di atas rerumputan yang masih sedikit basah karena hujan beberapa hari lalu. Angin sepoi-sepoi berhembus, membawa aroma alam yang segar.

Setelah beberapa saat hening, Bima berbicara lagi. Suaranya kali ini lebih pelan, lebih dalam.

“Rina… aku sudah lama ingin ngomong sesuatu sama kamu, tapi nggak pernah punya kesempatan yang tepat. Tapi hari ini, di tempat ini, aku merasa ini waktu yang pas.”

Aku menatapnya, dan tiba-tiba aku merasakan jantungku berdetak lebih cepat. Ada perasaan aneh yang mulai menyelimuti diriku, seperti aku sudah tahu apa yang akan dia katakan, tapi aku masih menunggu dengan deg-degan.

Bima mengambil napas dalam-dalam, lalu melanjutkan, “Sejak kita semakin dekat… aku sadar, kamu adalah orang yang selalu membuat hari-hariku lebih cerah. Setiap kali kita ngobrol, setiap kali kita ketawa bareng, rasanya semua masalah jadi lebih ringan. Aku suka caramu membuat segalanya terasa lebih mudah. Aku suka senyumanmu. Dan… aku suka kamu, Rina.”

Kata-kata itu terasa seperti musik indah yang mengalun di telingaku. Dadaku serasa sesak, tapi dalam cara yang sangat menyenangkan. Aku terdiam, terlalu terkejut untuk segera merespons. Aku tidak menyangka bahwa perasaan yang selama ini samar-samar kurasakan juga dirasakan oleh Bima.

“Aku tahu ini mungkin mendadak,” Bima melanjutkan dengan sedikit gugup. “Tapi aku nggak bisa terus-terusan memendam ini. Aku suka kamu, Rina. Dan aku cuma mau kamu tahu itu.”

Aku menatap matanya, mencoba mencari kata-kata yang tepat. Tapi kenyataannya, hatiku sudah tahu jawabannya. Perasaan hangat yang selalu ada setiap kali bersama Bima ternyata lebih dari sekadar rasa nyaman sebagai teman. Ini adalah perasaan yang lebih dalam, lebih tulus.

“Bima…” kataku pelan, mencoba menenangkan debaran jantungku. “Aku juga merasa hal yang sama. Setiap kali kamu ada di dekatku, aku merasa bahagia. Kamu selalu bikin aku ketawa, bikin aku merasa spesial. Dan… aku juga suka kamu.”

Begitu kata-kata itu keluar dari mulutku, aku merasakan beban yang selama ini tanpa sadar kuemban terangkat. Rasanya seperti kelegaan yang luar biasa. Bima menatapku dengan senyum lebar, matanya berkilauan penuh kebahagiaan.

Dia mendekat sedikit, lalu dengan lembut meraih tanganku. Sentuhan itu membuatku semakin yakin bahwa apa yang kurasakan ini benar.

“Terima kasih,” ucapnya pelan. “Aku nggak tahu apa yang akan terjadi ke depan, tapi aku senang kita jujur dengan perasaan kita.”

Aku mengangguk, dan kami duduk di sana, menikmati keindahan pemandangan dan kehangatan perasaan yang baru saja terungkap. Tidak ada kata-kata lagi yang perlu diucapkan. Di tengah alam yang tenang, di atas bukit kecil ini, aku dan Bima merasakan kebahagiaan yang tulus, murni, dan sederhana.

Matahari mulai turun di ufuk barat, menyelimuti kami dengan cahaya lembut yang keemasan. Aku menatap Bima yang masih menggenggam tanganku, dan aku tahu bahwa mulai hari ini, segalanya akan berbeda. Kami tidak lagi hanya dua sahabat yang berbagi tawa, tetapi dua orang yang menemukan cinta di antara tawa itu.

Dan di saat itulah aku merasa, aku sudah menemukan seseorang yang membuat setiap hariku lebih indah seseorang yang akan selalu ada, tidak peduli bagaimana masa depan membawa kami.

 

 

Kisah cinta Rina dalam cerpen “Ketulusan di Tengah Kesederhanaan” mengajarkan kita bahwa cinta sejati tidak selalu datang dari hal-hal mewah, tetapi dari kebersamaan yang tulus dan sederhana. Di tengah kehidupan kost yang penuh tantangan, cinta justru menjadi pelengkap kebahagiaan yang membuktikan bahwa kasih sayang bisa ditemukan dalam momen-momen kecil yang berharga. Setiap kisah cinta memiliki jalannya masing-masing, dan Rina telah menemukan miliknya melalui kemandirian dan kehangatan yang sederhana. Terima kasih telah membaca cerita ini! Semoga cerita cinta Rina menginspirasi dan menghangatkan hati Anda. Sampai jumpa di cerita-cerita menarik berikutnya!

Leave a Comment