Hari-hari berlalu dengan cepat di sekolah, dan Karla terus menikmati kebersamaannya dengan Gara dan Kevan. Mereka telah menjadi teman yang dekat, saling mendukung satu sama lain dalam setiap kesempatan. Namun, ketenangan Karla terganggu ketika Gara dan Kevan mulai menunjukkan tanda-tanda ingin lebih dari sekedar persahabatan.
Suatu hari, di kantin sekolah, Gara duduk di sebelah Karla dengan ekspresi serius di wajahnya. “Karla, ada yang ingin aku bicarakan denganmu.”
Karla mengangkat sebelah alisnya, penasaran. “Ada apa, Gara?”
Gara menarik nafas dalam-dalam sebelum berkata, “Aku tahu ini mungkin terdengar berani, tapi aku merasa harus mengatakannya. Aku suka padamu, Karla. Aku ingin tahu apakah kamu bisa memberiku kesempatan untuk membuktikan bahwa aku bisa menjadi yang terbaik untukmu.”
Karla merasa sedikit terkejut dengan pengakuan tulus Gara. Dia tahu bahwa Gara adalah orang baik, tetapi hatinya sudah memiliki tempat yang lain. Dengan lembut, Karla menatap mata Gara. “Gara, aku menghargai perasaanmu. Tapi aku tidak merasakan hal yang sama. Aku harap kamu bisa mengerti.”
Gara mengangguk, meskipun ekspresinya sedikit kecewa. “Aku mengerti, Karla. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku selalu ada untukmu, apapun yang kamu butuhkan.”
Beberapa hari kemudian, giliran Kevan yang mengungkapkan perasaannya pada Karla. Di bawah pohon cemara di taman sekolah, Kevan dengan penuh keyakinan mengatakan betapa pentingnya Karla baginya. Namun, seperti yang sudah dia lakukan sebelumnya, Karla menolak dengan lembut.
Kesadaran tiba-tiba menyadari bahwa dia harus mengambil langkah tegas untuk mengakhiri kebingungan ini. Karla memutuskan untuk mengundang Gara dan Kevan ke tempat yang tenang, jauh dari pandangan orang lain.
“Dengarkan,” ucap Karla dengan suara tegas. “Aku menghargai persahabatan kita, tapi aku tidak bisa memberikan apa yang kalian inginkan. Aku ingin kita tetap teman, tapi aku juga butuh kalian untuk menghormati keputusanku.”
Gara dan Kevan merenung sejenak sebelum akhirnya mengangguk. Mereka mengerti bahwa cinta tidak bisa dipaksakan, dan bahwa persahabatan mereka dengan Karla lebih berharga daripada perasaan yang tidak bersatu itu.
Setelah percakapan yang tegas itu, hubungan Karla dengan Gara dan Kevan tetap erat. Mereka kembali ke rutinitas mereka, tetapi kali ini tanpa beban perasaan yang tidak terbalaskan. Karla merasa lega karena dia berhasil mengungkapkan perasaannya dengan jelas, sambil tetap mempertahankan hubungan yang berharga dengan dua teman baiknya.