Halo, Para pembaca yang setia! Dalam kehidupan, seringkali kita menghadapi perasaan tak dianggap, seperti yang dialami oleh Mala, seorang gadis pendiam yang berjuang untuk menemukan tempatnya di dunia. Cerita ini menggambarkan perjalanan emosionalnya dalam menghadapi kesedihan dan menemukan kebaikan di sekelilingnya. Dengan latar belakang sekolah yang penuh warna dan tantangan, Mala belajar bahwa setiap suara, sekecil apa pun, memiliki kekuatan untuk mengubah segalanya. Ikuti kisah inspiratifnya dan temukan pelajaran berharga tentang kepercayaan diri, persahabatan, dan keberanian untuk bersuara.
Menemukan Suara Di Tengah Kebisingan
Bayang-Bayang Kesunyian
Mala duduk di sudut ruang kelas yang jauh dari keramaian. Setiap hari, ia selalu memilih tempat itu, jauh dari sorotan mata teman-temannya. Ia adalah gadis pendiam yang tidak banyak berbicara, dan itu membuatnya merasa terasing. Di tengah hiruk-pikuk suara tawa dan obrolan teman sekelasnya, Mala merasa seperti bayangan yang tidak pernah diperhatikan.
Sekolah selalu menjadi tempat yang penuh dengan aktivitas, tetapi bagi Mala, itu adalah labirin kesepian. Teman-teman sekelasnya lebih suka berkumpul di sekitar meja besar di tengah kelas, berbagi cerita, dan tertawa bersama. Sementara itu, Mala lebih suka menghabiskan waktu dengan buku-buku di tangannya, mencoba melarikan diri dari dunia yang terasa begitu asing baginya. Buku-buku itu adalah teman setia yang selalu ada untuknya, memberikan pelarian dari kenyataan yang menyakitkan.
Hari itu, pelajaran seni berlangsung. Ibu guru meminta siswa untuk menggambar potret diri mereka. Ketika semua teman-teman mulai menuangkan ide dan warna ke dalam gambar mereka, Mala menatap kertas kosong di depannya. Ia tidak yakin bagaimana cara menggambarkan dirinya. Tiba-tiba, ingatan akan perasaannya yang selalu terabaikan kembali muncul. Dengan hati yang berat, ia mulai menggambar bukan wajahnya yang terlihat, tetapi bayangan samar yang mencerminkan rasa sepinya.
Setelah beberapa saat, Mala melihat sekeliling. Teman-teman sekelasnya tampak ceria, tertawa dan saling menunjukkan gambar mereka. “Lihat, aku menggambar diriku sedang berlibur di pantai!” teriak Rina, teman sebangkunya, dengan senyum lebar. Mala hanya bisa tersenyum tipis. Tidak ada yang pernah bertanya tentang gambar yang ia buat atau bagaimana perasaannya. Ia merasa seperti suara yang tenggelam di lautan kebisingan.
Setelah pelajaran berakhir, semua siswa bergegas menuju kantin. Mala, seperti biasa, menghindari kerumunan. Ia memilih untuk duduk di bawah pohon rindang di halaman sekolah. Angin berhembus lembut, dan ia bisa mendengar suara-suara di kejauhan, tetapi rasa sepinya kembali membalutnya. Dengan mengeluarkan buku dari tasnya, ia mulai membaca, berusaha mengalihkan pikirannya dari perasaan terasing.
Tiba-tiba, seorang gadis menghampirinya. “Hai, Mala! Apa kamu mau bergabung dengan kami di kantin?” tanya Fina, salah satu teman sekelas yang terkenal ramah. Mala terkejut, tidak percaya bahwa ada yang memperhatikannya. Namun, ia ragu. “Tidak apa-apa, aku nyaman di sini,” jawabnya pelan.
Fina tidak menyerah. “Ayo, kita bisa makan bareng! Aku butuh teman untuk membagi makanan,” rayunya dengan senyum hangat. Melihat kehangatan dalam tatapan Fina, Mala akhirnya mengangguk. Dengan langkah ragu, ia mengikuti Fina menuju kantin.
Di kantin, Mala duduk di meja bersama Fina dan beberapa teman lainnya. Meski awalnya terasa canggung, tetapi suasana mulai mencair saat Fina mulai bercerita tentang film terbaru yang baru saja ditontonnya. Teman-teman lain ikut tertawa dan berbagi cerita. Mala merasakan sesuatu yang belum pernah ia alami dalam waktu lama kebersamaan yang tulus.
Saat makan siang, Mala mulai merasa lebih nyaman. Ia terkejut saat Fina bertanya, “Mala, gambar potret dirimu yang kamu buat tadi, bisa kamu ceritakan?” Pertanyaan itu membuat jantung Mala berdegup kencang. Selama ini, tidak ada yang peduli dengan hasil karyanya. Dengan sedikit ragu, ia mulai menjelaskan gambarnya, menggambarkan bayangan yang ia buat dan perasaan sepinya.
Fina mendengarkan dengan seksama, dan itu membuat Mala merasa dihargai. “Itu sangat menarik! Kadang, kita memang merasa terabaikan, tetapi itu tidak berarti kita tidak ada. Kamu punya suara, Mala, dan itu penting!” ungkap Fina dengan tulus. Kata-kata itu menyentuh hati Mala. Ia merasa ada harapan di tengah kesunyian yang selalu membayangi.
Setelah makan, teman-teman mulai kembali ke kelas. Mala merasa ringan dan bahagia, meskipun ia masih merasa sedikit cemas tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Namun, pengalaman di kantin telah membuka matanya. Mungkin ada harapan untuk menemukan tempatnya di dunia ini.
Mala menyadari bahwa meskipun terkadang ia merasa tidak diakui, ada orang-orang yang peduli dan mau mendengarkan. Dengan langkah yang lebih mantap, ia kembali ke kelas, bertekad untuk tidak hanya menjadi bayang-bayang kesunyian, tetapi juga menjadi bagian dari cerita yang lebih besar cerita yang mungkin saja dimulai dari pengakuan sederhana bahwa ia pun memiliki suara yang layak didengar.
Momen Yang Terlewatkan
Hari-hari setelah pertemuan dengan Fina di kantin menjadi awal yang penuh harapan bagi Mala. Meski perasaan tak diakui masih kadang menghinggapi dirinya, dia berusaha untuk terbuka dan berinteraksi lebih banyak dengan teman-teman sekelasnya. Namun, tantangan baru mulai muncul, dan kesepian masih sering menyelimuti.
Mala merasa lebih berani, tetapi pada saat yang sama, ia tetap terjebak dalam ketidakpastian. Ketika guru meminta siswa untuk bekerja dalam kelompok, Mala berharap bisa berada dalam satu kelompok dengan Fina. Namun, harapannya pupus saat melihat Fina bergabung dengan kelompok lain yang lebih ramai. Mala terpaksa bergabung dengan sekelompok siswa yang lebih suka bercanda dan tidak serius dalam belajar.
Saat duduk di meja kelompoknya, Mala merasa terasing lagi. Teman-teman sekelompoknya lebih tertarik berbicara tentang game dan film daripada berdiskusi tentang tugas. Meskipun ia mencoba untuk berpartisipasi, suara lembutnya sering kali tenggelam di antara tawa keras dan pembicaraan yang cepat. Mereka tidak memperhatikannya, dan perasaan sedih kembali melanda.
“Mala, apa pendapatmu tentang topik ini?” tanya Andi, salah satu teman sekelasnya, sambil tertawa dengan kawan-kawannya. Tetapi pertanyaan itu bukan ditujukan padanya. Andi sepertinya hanya mencari seseorang untuk dijadikan bahan lelucon. Mendengar namanya disebut, Mala merasa sedikit bersemangat, tetapi ketika ia menjawab dengan tenang, “Menurutku, kita harus fokus pada…,” kalimatnya terputus oleh tawa kelompok itu.
“Malu-maluin!” seru Rina, dan semua tertawa. Mala merasa pipinya memanas. Ia ingin sekali menghilang. Ia menundukkan kepala, berusaha menahan air mata yang ingin keluar. Kenapa selalu begini? Setiap kali ia berusaha untuk berbicara, seolah-olah suaranya tidak berarti.
Namun, di tengah keputusasaannya, ia mendengar suara lembut Fina dari jauh. “Mala, ayo! Kita bisa belajar bareng!” Fina melambaikan tangan dari kelompoknya. Mala merasakan hangat di dadanya. Fina selalu tahu cara untuk mengangkat semangatnya.
Dengan ragu, Mala berdiri dan berjalan menuju Fina. Sementara kelompok yang lain terkejut, Mala merasa seakan-akan sebuah sinar harapan kembali menyala. Fina tersenyum lebar saat Mala bergabung. “Aku butuh seseorang yang serius dalam belajar. Kita bisa jadi tim yang hebat!” ujar Fina dengan semangat.
Di situlah Mala menemukan kekuatan baru. Fina membantunya untuk memahami materi yang diajarkan. Mereka bekerja sama, menciptakan suasana belajar yang penuh keceriaan. Kebaikan Fina membuat Mala merasa lebih dihargai. Dalam hati, ia bersyukur memiliki teman seperti Fina yang mau mendengarkan dan memberinya kesempatan untuk bersinar.
Namun, saat waktu pelajaran hampir berakhir, guru meminta setiap kelompok untuk mempresentasikan hasil kerja mereka. Mala merasakan kecemasan merayapi dirinya. Ia tahu bahwa saatnya untuk berbicara di depan kelas, dan bayangan ketidakberdayaannya muncul kembali. Fina melihat kegugupan di wajah Mala. “Jangan khawatir, Mala. Kamu bisa melakukannya! Aku ada di sini bersamamu,” ucapnya dengan lembut.
Ketika mereka berdiri di depan kelas, Mala berusaha menenangkan diri. Suara Fina di sampingnya memberi keberanian. Dengan perlahan, Mala mulai berbicara, menjelaskan hasil kerja mereka. Namun, jari-jarinya bergetar, dan suaranya kembali terdengar pelan.
Beberapa teman sekelasnya masih tampak asyik dengan ponsel mereka, tetapi ada juga yang mendengarkan. Salah satunya adalah Dika, siswa yang dikenal baik di kelas. Dika menatap Mala dengan penuh perhatian. “Bagus sekali, Mala! Aku suka penjelasanmu,” ujarnya, mengangguk.
Mendengar pujian itu, Mala merasa sedikit lebih tenang. Ia melanjutkan menjelaskan dengan lebih percaya diri, menyampaikan pendapatnya dengan lebih jelas. Ketika selesai, suasana hening sejenak sebelum terdengar tepuk tangan dari beberapa teman yang mendukung. Fina bersorak gembira di sampingnya.
Mala tidak percaya bahwa ia bisa menyampaikan pendapatnya dengan baik. Meskipun ada beberapa teman yang masih terlihat acuh tak acuh, pengakuan dari Dika dan Fina membuatnya merasa lebih berarti. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa setiap momen kecil itu adalah langkah menuju pengakuan dan penerimaan.
Setelah kelas berakhir, Mala merasakan perasaan campur aduk. Ia merasa sedih karena masih banyak orang yang tidak melihatnya, tetapi di sisi lain, kebaikan Fina dan Dika memberinya kekuatan. Ia berjanji untuk terus berjuang, untuk tidak lagi hanya menjadi bayang-bayang kesunyian.
Ketika langkahnya membawa pulang, Mala merenungkan pengalaman hari itu. Mungkin perjalanan mencari pengakuan tidak akan mudah, tetapi ia tahu ada teman sejati yang selalu siap mendukungnya. Momen-momen kecil seperti itu adalah tanda bahwa, meskipun terasa tak dianggap, ada harapan dan kebaikan di dunia ini. Dan mungkin, suatu saat, ia bisa menjadi suara yang didengar bukan hanya sebagai Mala yang pendiam, tetapi sebagai Mala yang penuh makna.
Suara Dalam Hati
Hari-hari berlalu, dan meskipun Mala merasakan sedikit perubahan, perasaannya yang tak dianggap masih mengintai. Kini, dengan dukungan Fina dan Dika, ia berusaha untuk lebih aktif di kelas. Namun, perasaan sepi tak jarang muncul, terutama ketika melihat teman-teman lainnya yang tampak lebih ceria dan dekat satu sama lain.
Suatu pagi, saat pelajaran olahraga, guru mengumumkan bahwa mereka akan mengadakan kompetisi antar kelas. “Kita akan mengadakan lomba estafet! Setiap kelas harus mengirimkan satu tim,” teriak guru sambil menjelaskan aturan. Rasa antusias segera menyelimuti kelas. Semua siswa tampak bersemangat dan mulai mendiskusikan strategi.
Mala menatap dari jauh, perasaannya campur aduk. Dia ingin ikut berpartisipasi, tetapi bayangan bahwa dirinya akan diabaikan kembali menghantui. Dalam keramaian, ia tidak yakin apakah ada yang akan memilihnya untuk tim. Teman-teman sekelasnya mulai berkumpul, merancang kelompok mereka dengan semangat. Rina, Andi, dan beberapa yang lain tampak sangat bersemangat membahas siapa yang akan menjadi pelari tercepat.
Melihat kerumunan itu, Mala merasa terasing. Sementara semua orang bersorak dan bercanda, ia kembali duduk di bangkunya, menghindari keramaian. Namun, Fina datang menghampirinya. “Mala, ayo ikut! Kita bisa membuat tim bersama!” ajaknya, seolah tahu betul apa yang ada dalam pikiran Mala.
“Ah, tidak usah. Mungkin aku bukan pilihan yang tepat,” jawab Mala, suara penuh keraguan. Dalam hati, ia merasa tidak layak untuk berpartisipasi. Fina menatapnya dengan serius. “Mala, kamu harus percaya pada dirimu sendiri! Kita bisa melakukan ini bersama. Setiap orang punya peran penting.”
Akhirnya, dengan sedikit dorongan dari Fina, Mala setuju untuk bergabung. Tim mereka terdiri dari beberapa siswa yang juga merasa kurang diperhatikan, dan semua orang tampak semangat. Mereka mulai berlatih, dan Mala merasa sedikit lebih berharga di tengah keramaian.
Namun, saat latihan berlangsung, Mala mulai merasakan kembali perasaan tak diangggap. Saat pelatih menyuruh mereka berlari, teman-temannya tampak lebih memperhatikan kekuatan dan kecepatan mereka. Mala berusaha keras, tetapi saat ia berlari, ia merasa bahwa ia tertinggal jauh di belakang.
Di tengah latihan, ia mendengar bisikan di belakangnya. “Kenapa Mala selalu lambat? Dia tidak cocok untuk tim ini,” bisik Andi kepada Rina. Hati Mala langsung terasa nyeri. Kata-kata itu melukai, dan dia merasa semua upayanya sia-sia. Ia berusaha keras untuk menahan air mata, tetapi rasa sakit itu tidak bisa dipungkiri.
Setelah latihan selesai, Mala duduk di pinggir lapangan, merasa putus asa. Fina, yang melihat perubahan wajah Mala, segera menghampirinya. “Mala, kamu baik-baik saja?” tanyanya dengan khawatir. Mala hanya menggelengkan kepala, tidak tahu bagaimana menjelaskan perasaannya. “Aku hanya merasa tidak berarti, Fina. Sepertinya semua orang lebih baik dariku,” ungkapnya pelan.
Fina duduk di sampingnya dan menatap lapangan. “Mala, setiap orang punya kelebihan dan kekurangan. Kamu mungkin tidak tercepat, tetapi kamu punya ketahanan dan semangat. Itu yang membuatmu unik,” ujarnya dengan lembut. Kata-kata Fina terasa menenangkan, tetapi Mala masih meragukan dirinya.
Di tengah kebimbangan, Dika muncul, membawa air minum dan snack untuk mereka berdua. “Hai, kalian! Kenapa wajahnya tampak suram?” tanyanya sambil tersenyum. Mala merasa hangat melihat Dika. Ia tahu Dika tidak pernah merendahkan, dan itu membuatnya sedikit lebih baik.
“Rasa ragu yang datang lagi,” jawab Fina. Dika mengangguk, seolah memahami. “Mala, ingat, tim ini tidak hanya soal kecepatan. Kita butuh strategi dan kerja sama. Lagipula, kamu selalu punya cara untuk membuat suasana lebih baik,” ucap Dika.
Mendengar kata-kata Dika, Mala merasa harapannya kembali muncul. Dia mulai merenung, dan mungkin ada benarnya. Selama ini, dia berusaha mencari pengakuan dari orang lain, tetapi dia harus percaya pada dirinya sendiri dan apa yang bisa dia tawarkan.
Ketika hari perlombaan tiba, Mala merasakan campuran antusiasme dan ketakutan. Namun, dia bertekad untuk memberi yang terbaik. Fina dan Dika di sampingnya memberikan semangat, dan Mala merasa lebih kuat. Dia mungkin tidak tercepat, tetapi dia bisa memberikan dukungan bagi timnya.
Saat perlombaan dimulai, tim mereka berlari dengan semangat. Meskipun tidak memenangkan posisi pertama, Mala merasa bangga. Dia melihat ke arah Fina dan Dika yang tersenyum lebar, memberi semangat di setiap langkah. Dalam hati, dia menyadari bahwa kehadirannya berarti bagi mereka.
Setelah perlombaan, semua siswa berkumpul dan merayakan, tanpa mempedulikan siapa yang menang atau kalah. Kebaikan dan dukungan dari Fina dan Dika membuat Mala merasa lebih berarti. Dia mungkin belum menemukan tempatnya sepenuhnya, tetapi dia tahu bahwa kebaikan dan persahabatan adalah hal terpenting yang bisa dimiliki.
Dengan semangat baru, Mala melangkah maju, menyadari bahwa ia memiliki suara yang layak didengar, bahkan dalam keramaian. Setiap momen, setiap kata, dan setiap dukungan dari teman-temannya adalah langkah menuju kepercayaan diri yang selama ini ia cari. Dan untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa ia bukan hanya Mala yang pendiam ia adalah Mala yang memiliki suara dalam hatinya.
Menemukan Suara Di Tengah Kebisingan
Setelah perlombaan yang mengajarkan Mala banyak tentang persahabatan dan kepercayaan diri, kehidupan sekolahnya masih dipenuhi dengan suka dan duka. Meskipun dia merasakan dorongan positif dari Fina dan Dika, perasaan tidak dianggap masih mengintai di sudut hatinya. Kadang, saat melihat teman-teman yang tampak akrab dan bahagia, ia kembali merasa terasing.
Suatu sore, saat pulang sekolah, Mala berjalan sendirian di sepanjang jalan setapak yang dikelilingi pepohonan. Daun-daun berwarna hijau mulai menguning, tanda bahwa musim kemarau segera tiba. Dalam perjalanan itu, dia memperhatikan sekelilingnya, tetapi pikirannya melayang jauh. Ia mengingat bagaimana rasanya ketika namanya tidak dipanggil dalam berbagai kegiatan, bagaimana perasaannya ketika suara dan pendapatnya sering diabaikan.
Hari-hari di sekolah terus berjalan, dan Mala kembali ke rutinitasnya. Ketika saatnya untuk presentasi kelompok tiba, dia berusaha mengangkat suaranya, tetapi terkadang rasa cemas dan ketidakpastian menghantuinya. Teman-teman sekelasnya yang lebih percaya diri sering kali mendominasi diskusi, dan Mala merasa seperti bayangan di antara mereka.
Namun, ada satu kejadian yang akan mengubah cara pandangnya. Suatu hari, saat pelajaran seni, guru mereka mengumumkan lomba menggambar. “Kita akan mengadakan lomba menggambar tema lingkungan! Karya terbaik akan dipajang di aula sekolah!” seru guru dengan penuh semangat. Semua siswa terlihat bersemangat, termasuk Fina yang tampak berapi-api.
Mala merasa sedikit ragu, tetapi dorongan dari Fina membuatnya ikut berpartisipasi. Ia ingat betapa senangnya menggambar saat kecil. Dalam hati, dia berharap bisa mengekspresikan dirinya melalui karya seni, meskipun ada rasa takut bahwa gambarnya akan diabaikan seperti suara dan pendapatnya.
Hari demi hari, Mala menghabiskan waktu setelah sekolah untuk menggambar. Ia menemukan ketenangan saat pensilnya menyentuh kertas, menciptakan pemandangan yang indah dengan warna-warna cerah. Gambarnya menggambarkan alam yang indah, dan bagaimana manusia seharusnya menjaga lingkungan agar tetap bersih dan lestari. Dalam setiap garis dan warna, ia menuangkan perasaan dan harapannya.
Ketika hari perlombaan tiba, Mala merasa gugup. Teman-teman sekelasnya memamerkan karya mereka, yang terlihat lebih mencolok dan berani. Melihat gambarnya dibandingkan dengan yang lain, Mala merasa kecil dan tidak berarti. “Gambarku tidak akan ada yang memperhatikan,” bisiknya pada dirinya sendiri, hatinya dipenuhi keraguan.
Namun, saat para guru dan juri mulai menilai karya, Fina dan Dika menghampirinya. “Mala, jangan khawatir! Karya kamu unik dan punya pesan yang dalam,” ucap Dika, sambil menunjuk ke arah gambar yang sedang dinilai. Fina mengangguk setuju, menambahkan, “Kamu harus percaya pada dirimu sendiri!”
Mala tersenyum mendengar kata-kata itu, tetapi hatinya masih bergetar dengan ketidakpastian. Dia mencoba menenangkan diri dengan mengambil napas dalam-dalam. Tak lama setelahnya, guru mulai mengumumkan hasilnya. “Dan pemenang lomba menggambar tema lingkungan adalah… Mala!”
Mala terdiam, tidak percaya. Suara gemuruh tepuk tangan memenuhi aula, dan semua mata tertuju padanya. Fina dan Dika bersorak gembira, dan Mala merasakan air mata haru menggenang di pelupuk matanya. “Aku menang? Serius?” ujarnya dengan suara bergetar.
Guru mendekatinya, memuji karya dan pesannya yang mendalam. “Karya ini mengingatkan kita akan pentingnya menjaga lingkungan. Kamu memiliki bakat, Mala. Jangan pernah ragu untuk berbagi,” katanya sambil memberikan penghargaan.
Di tengah kerumunan, Mala merasa seolah semua ketidakpastian dan keraguan yang mengikatnya selama ini mulai mencair. Perasaannya campur aduk antara bahagia, terharu, dan tak percaya. Untuk pertama kalinya, ia merasa dianggap. Dia berdiri di depan kelas, memandang wajah-wajah yang tersenyum, dan menyadari bahwa suaranya, meski lembut, bisa memiliki dampak.
Setelah acara selesai, Mala dikelilingi oleh teman-temannya. Mereka mengucapkan selamat dan meminta tanda tangannya di poster gambarnya. Rina, yang sebelumnya pernah merendahkan, kini menghampirinya dan berkata, “Mala, gambarmu keren! Aku tidak menyangka kamu punya bakat seperti ini.” Kata-kata itu membuat hati Mala bergetar. Semua perasaan tidak diangggap seolah sirna seketika.
Fina memeluknya. “Aku tahu kamu bisa! Kamu layak mendapatkan ini,” ucapnya penuh semangat. Dika juga mengangguk, “Jangan berhenti menggambar, Mala. Dunia butuh lebih banyak suara seperti kamu!”
Mala tersenyum, tetapi kali ini senyumnya penuh percaya diri. Dia tidak lagi merasa sebagai bayangan. Dia merasa hidupnya punya arti, dan suaranya, meskipun lembut, bisa menggema dengan keras. Dalam perjalanan pulang, hati Mala dipenuhi kebahagiaan. Momen itu adalah titik balik, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk bagaimana dia melihat dunia.
Dalam setiap langkahnya, ia menyadari bahwa tidak peduli seberapa besar atau kecilnya suara seseorang, setiap individu memiliki peran penting dalam kehidupan. Sekali lagi, Mala merasakan kebaikan dari orang-orang di sekelilingnya. Mungkin, inilah yang disebut keajaiban temukan suara di tengah kebisingan, dan biarkan kebaikan mengubah segala sesuatu.
Dalam perjalanan Mala, kita belajar bahwa setiap individu memiliki kekuatan untuk bersuara dan mengubah pandangan orang lain. Meskipun sering kali kita merasa terabaikan, dukungan dari teman dan keberanian untuk mengekspresikan diri dapat membawa kita pada perubahan yang positif. Kisah ini mengingatkan kita untuk selalu menghargai setiap suara di sekitar kita, karena setiap kontribusi, sekecil apa pun, dapat menciptakan dampak yang signifikan. Terimakasih telah mengikuti cerita inspiratif Mala. Semoga kisah ini memberikan semangat dan inspirasi bagi kita semua untuk tidak pernah ragu dalam berbagi suara dan kebaikan. Sampai jumpa di cerita berikutnya!