Halo, Para pembaca! Taukah kalian kisah Bella dalam cerita ini menggambarkan perjalanan hidup yang penuh dengan liku-liku emosional, kebaikan yang tak terbalas, serta keteguhan dalam menghadapi berbagai tantangan. Sebagai seorang anak yang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang bermasalah, Bella menunjukkan kesabaran luar biasa dan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai kebaikan. Meskipun menghadapi kesedihan dan penolakan, Bella terus berusaha untuk membuat ibunya merasa dicintai. Bagaimana perjuangannya dalam menghadapi rasa sakit yang mendalam dan pelajaran apa yang bisa diambil dari kisah hidupnya? Mari kita simak cerita inspiratif ini!
Kisah Bella Dalam Menghadapi Kehidupan Yang Rumit
Senyuman Di Balik Luka
Hari itu, aku berdiri di depan cermin, merapikan seragam sekolahku seperti biasa. Rambutku yang hitam legam kutata rapi dengan ikat rambut berwarna merah muda, kesukaanku sejak kecil. Aku tersenyum kepada bayanganku sendiri. Senyum yang kurasakan tak pernah pudar, meski di dalam hatiku terasa ada yang hilang. Aku, Bella, seorang anak yang dikenal selalu bahagia dan ramah kepada semua orang. Setiap pagi, aku berangkat ke sekolah dengan penuh semangat, membawa energi positif untuk teman-temanku.
Di sekolah, semua orang tampak menyukaiku. Mereka memanggilku dengan sapaan hangat, seolah-olah kehadiranku memberikan mereka kegembiraan. Aku memiliki banyak teman, dan setiap kali berada di sekitar mereka, aku merasa diterima. Namun, tidak ada seorang pun yang tahu tentang apa yang terjadi di balik pintu rumahku. Rumah yang seharusnya menjadi tempatku merasa aman, justru sering kali menjadi sumber kerumitan.
Terkadang aku berpikir, mengapa hidupku harus serumit ini? Mengapa senyumanku hanya terlihat cerah di luar, tetapi hatiku berwarna kelabu di dalam? Di rumah, aku menyaksikan pertengkaran demi pertengkaran antara kedua orang tuaku. Mereka seperti lupa bahwa aku ada di sana, melihat semuanya. Saat aku duduk di ruang tamu atau bersembunyi di kamarku, suara pertengkaran itu bergema di seluruh sudut rumah. Ayah dan Ibu sering bertengkar tentang hal-hal yang tidak aku pahami. Aku hanya tahu bahwa suasana semakin mencekam setiap harinya.
Aku selalu berusaha untuk tidak menangis. Aku tidak ingin menunjukkan kelemahanku. Bukankah mereka bilang aku anak yang kuat? Aku pikir, jika aku cukup baik dan ceria, semua akan membaik. Jadi, setiap pagi aku tetap berpura-pura bahwa hidupku sempurna. Di sekolah, aku tertawa, bercanda dengan teman-temanku, dan menjadi teman yang mereka butuhkan. Di rumah, aku menutup rapat kesedihan ini dan menumpuknya dalam-dalam.
Pagi itu, seperti biasa, aku tiba di sekolah dengan senyuman. Teman-temanku sudah menungguku di taman, tempat kami biasa bermain sebelum bel berbunyi. “Bella! Kemari, kita mau bermain petak umpet!” teriak Lita, salah satu teman baikku. Aku berlari ke arah mereka, ikut serta dalam kebahagiaan yang mereka ciptakan. Untuk sejenak, aku bisa melupakan apa yang terjadi di rumah. Aku bisa berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja, meskipun di dalam hatiku, ada rasa takut yang selalu menghantui.
Saat bermain, aku melihat Anita, salah satu temanku, menatapku dengan wajah sedikit cemas. “Bella, kamu baik-baik saja, kan? Kamu kelihatan sedikit lelah,” tanyanya. Hatiku mencelos mendengar pertanyaan itu. Apakah senyumanku sudah mulai pudar? Apakah mereka bisa melihat apa yang sebenarnya aku rasakan?
Namun, seperti biasa, aku tersenyum dan menjawab, “Aku baik-baik saja, kok! Mungkin aku hanya kurang tidur, tapi nggak apa-apa.” Aku tahu, aku tidak ingin membebani mereka dengan masalahku. Aku ingin mereka tetap melihatku sebagai Bella yang ceria dan baik hati. Jadi, aku kembali tertawa bersama mereka, meskipun hatiku terasa kosong.
Malam harinya, setelah hari yang panjang di sekolah, aku pulang ke rumah dengan harapan bahwa suasana kali ini akan lebih tenang. Namun, harapanku pupus saat aku mendengar suara keras dari dalam rumah. Ayah dan Ibu sedang bertengkar lagi. Aku berdiri di depan pintu, ragu untuk masuk. Aku tahu, begitu aku masuk, aku akan mendengar hal-hal yang tak ingin kudengar. Hatiku terasa sesak, tetapi aku tidak punya pilihan selain menghadapi kenyataan ini.
Perlahan, aku membuka pintu dan melangkah masuk. Suara pertengkaran itu semakin jelas. Aku berusaha untuk tidak mendengarkan, tapi itu mustahil. Kata-kata kasar, teriakan, semuanya bercampur menjadi satu. Aku merasa kecil, sangat kecil, seperti tidak memiliki kendali atas apapun. Aku ingin berteriak, ingin mengatakan kepada mereka untuk berhenti, tapi aku tahu, suaraku tidak akan didengar.
Aku berlari ke kamar, menutup pintu dan menenggelamkan wajahku di bantal. Air mata yang sudah lama kutahan mulai mengalir tanpa bisa kucegah. Mengapa semua ini harus terjadi? Mengapa mereka tidak bisa berhenti bertengkar? Aku tahu mereka mencintaiku, tapi mengapa cinta itu terasa begitu jauh ketika mereka terjebak dalam pertengkaran tanpa akhir?
Aku menangis dalam diam, membiarkan rasa sakit itu mengalir bersama air mata. Namun, di tengah kesedihan itu, aku tahu bahwa aku harus kuat. Aku harus sabar. Ini bukan salahku, dan aku percaya suatu hari nanti, semuanya akan membaik. Setiap kali aku merasa terlalu berat untuk menanggungnya, aku selalu berkata pada diriku sendiri, “Bella, kamu harus sabar. Semua ini akan berlalu.”
Keesokan harinya, aku kembali ke sekolah dengan senyuman yang sama. Teman-temanku tidak tahu apa yang terjadi semalam, dan aku tidak berniat memberitahu mereka. Aku ingin mereka tetap melihatku sebagai Bella yang kuat dan ceria. Mungkin, dengan terus tersenyum, aku bisa meyakinkan diriku bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Namun, di dalam hati, aku tahu bahwa senyumanku adalah benteng yang rapuh. Aku tahu bahwa suatu hari nanti, aku tidak bisa lagi menyembunyikan rasa sakit ini. Tapi untuk saat ini, aku akan terus tersenyum, terus bersikap baik, dan berharap bahwa kesabaran ini akan membawaku menuju hari yang lebih baik.
Di Balik Pintu Rumah
Hari itu, hujan turun dengan derasnya. Aku memandangi tetesan air yang membasahi kaca jendela kamarku. Suara rintik-rintik hujan yang biasanya menenangkan, kali ini tidak berhasil meredakan gundah di hatiku. Di balik pintu kamar, suara pertengkaran orang tuaku terdengar begitu jelas. Rasanya seperti badai besar di dalam rumah yang tidak pernah berhenti. Aku terdiam, duduk di sudut kamar sambil memeluk lututku erat-erat. Hanya aku dan suara hujan, berusaha melupakan kenyataan di balik pintu itu.
Ayah dan Ibu memang selalu bertengkar akhir-akhir ini. Aku tidak tahu pasti kapan semua ini dimulai, tapi yang jelas, sudah terlalu lama aku harus mendengarkan mereka berdebat setiap malam. Awalnya, mereka hanya bertengkar soal hal-hal kecil, seperti tagihan listrik yang belum dibayar atau siapa yang harus belanja bahan makanan. Namun, entah bagaimana, pertengkaran mereka semakin sering dan semakin keras. Seolah-olah, setiap masalah kecil menjadi alasan bagi mereka untuk meluapkan kemarahan.
Suatu hari, aku memberanikan diri untuk bertanya kepada Ibu, “Ibu, kenapa Ibu dan Ayah selalu bertengkar?”
Ibu menatapku dengan mata lelah, wajahnya yang cantik kini dihiasi kerutan kekhawatiran. Ia tidak langsung menjawab, hanya menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata, “Bella, ini masalah orang dewasa. Kamu tidak perlu khawatir.”
Tapi bagaimana aku bisa tidak khawatir? Aku adalah bagian dari keluarga ini. Setiap pertengkaran mereka, setiap kata kasar yang terlontar, selalu menghujam hatiku. Aku mungkin hanya anak kecil, tapi aku merasakan betapa hancurnya suasana di rumah. Kadang-kadang, aku berpikir, mungkin jika aku lebih baik, lebih penurut, mereka akan berhenti bertengkar. Namun, semakin aku mencoba menjadi anak yang sempurna, semakin sering pertengkaran itu terjadi.
Sore itu, suara pertengkaran mereka terdengar lebih keras dari biasanya. Aku duduk di dalam kamar, lagi-lagi menutupi telinga dengan kedua tangan, berharap bisa menghilangkan suara itu. Namun, kata-kata mereka begitu menusuk, menembus dinding tipis yang memisahkan kami. Aku bisa mendengar Ayah berteriak dengan nada marah, sementara Ibu membalasnya dengan tangisan dan suara serak. Hati kecilku meronta, ingin mereka berhenti, ingin semuanya kembali seperti dulu masa-masa ketika aku masih melihat mereka tertawa bersama, dan kami menjadi keluarga yang bahagia.
Aku ingat, dulu Ayah dan Ibu sering membawa kami sekeluarga berlibur ke pantai. Kami akan berjalan-jalan di sepanjang garis pantai, sambil mendengar suara ombak yang berkejaran. Ibu selalu menggandeng tanganku erat, sementara Ayah menggendong adik kecilku di pundaknya. Saat itu, aku merasa hidupku sempurna. Keluargaku adalah tempat aku merasa aman, tempat aku bisa tertawa tanpa khawatir.
Namun, kenangan itu kini terasa begitu jauh. Pantai yang dulu terasa hangat, kini terasa dingin dan sepi. Tak ada lagi tawa di antara kami, hanya suara pertengkaran yang terus membekas di hatiku. Di antara hujan yang turun, aku menatap keluar jendela, memikirkan betapa inginnya aku pergi jauh dari sini, ke tempat di mana suara Ayah dan Ibu tidak lagi menghantui malam-malamku.
Pada suatu malam, setelah pertengkaran mereka selesai, aku mendengar suara pintu yang ditutup keras. Aku melangkah pelan ke ruang tamu, hanya untuk menemukan Ayah yang mengambil kunci mobilnya. Wajahnya tegang, mata merah penuh kemarahan. Ia menatap Ibu yang berdiri di ujung ruangan, dengan air mata yang masih mengalir di pipinya.
“Aku butuh udara segar,” kata Ayah dengan nada rendah, tapi penuh tekanan. Lalu, tanpa menunggu jawaban dari Ibu, ia pergi, membanting pintu di belakangnya.
Aku mendekati Ibu yang kini terduduk di sofa. Wajahnya tampak begitu lelah, seolah-olah semua tenaga telah terserap oleh pertengkaran yang baru saja terjadi. Aku duduk di sebelahnya, tanpa berkata apa-apa. Aku tidak tahu harus berkata apa. Yang bisa kulakukan hanyalah berada di sana, di sisinya, berharap kehadiranku sedikit mengurangi beban yang ia rasakan.
Ibu menatapku, matanya yang basah dengan cepat menyapu wajahku. “Bella, maafkan Ibu… Kamu pasti sangat sedih melihat semua ini.”
Aku hanya mengangguk, menahan air mata yang ingin sekali jatuh. Di dalam hatiku, aku ingin berteriak, ingin mengatakan bahwa aku sangat lelah melihat mereka terus bertengkar, ingin keluargaku kembali seperti dulu. Tapi aku tidak ingin menambah beban Ibu. Aku tahu, dia sudah cukup terluka. Jadi aku hanya memeluknya erat, berharap pelukan itu bisa menyampaikan semua perasaan yang tidak bisa kuungkapkan.
Hari demi hari, aku terus menjalani hidupku seperti biasa. Di sekolah, aku tetap Bella yang ceria, anak yang disukai semua orang. Setiap orang melihatku sebagai anak yang selalu tersenyum, yang tidak pernah terlihat murung atau sedih. Tapi mereka tidak tahu, bahwa setiap malam, aku harus menghadapi kenyataan yang begitu berbeda. Setiap kali aku pulang ke rumah, aku selalu khawatir, apakah malam ini Ayah dan Ibu akan bertengkar lagi? Apakah rumah ini akan dipenuhi suara kemarahan lagi?
Namun, di tengah semua kerumitan itu, aku selalu berusaha untuk sabar. Aku yakin, jika aku bisa bertahan, jika aku bisa menjadi anak yang baik dan penurut, suatu hari semuanya akan berubah. Aku percaya bahwa Ayah dan Ibu mencintaiku, meskipun mereka sering bertengkar. Dan aku tahu, di dalam hatiku, aku juga mencintai mereka. Mungkin, cinta inilah yang membuatku tetap bertahan, tetap berusaha sabar di tengah badai yang seakan tidak ada akhirnya.
Aku selalu berharap, suatu hari nanti, badai ini akan berlalu. Dan saat itu tiba, aku ingin keluargaku kembali seperti dulu utuh, damai, dan penuh cinta. Sampai saat itu, aku akan terus tersenyum, terus berusaha menjadi Bella yang baik, meskipun di balik senyuman itu, ada luka yang aku sembunyikan rapat-rapat.
Di Antara Dua Dunia
Waktu berlalu, dan aku mulai terbiasa dengan suasana rumah yang penuh dengan ketegangan. Suara pertengkaran Ayah dan Ibu seakan menjadi latar belakang yang menemaniku setiap malam. Namun, di tengah semua itu, aku tetap berusaha menjalani hidupku sebaik mungkin. Setiap hari di sekolah, aku masih Bella yang ceria, anak yang selalu tersenyum dan mudah bergaul. Teman-temanku tidak pernah menyadari apa yang sebenarnya aku rasakan. Bagiku, sekolah adalah pelarian, tempat di mana aku bisa melupakan sejenak semua kekacauan yang terjadi di rumah.
Di sekolah, aku memiliki seorang sahabat bernama Nina. Nina adalah seseorang yang selalu ada untukku, tanpa pernah bertanya banyak. Dia tidak pernah memaksaku untuk bercerita tentang masalah di rumah, tapi entah bagaimana, dia selalu tahu saat aku sedang tidak baik-baik saja. Ketika aku diam terlalu lama atau tersenyum dengan tatapan kosong, Nina akan menatapku dengan penuh perhatian dan berkata, “Kalau ada yang ingin kamu ceritakan, aku di sini ya, Bella.”
Aku tahu Nina tulus, tapi aku juga tidak ingin membebani dia dengan masalahku. Jadi, aku tetap memilih untuk menyimpan semuanya sendiri. Setiap kali aku merasa dunia di rumah terlalu berat, aku hanya akan tersenyum kepada Nina, berharap dia tidak menyadari beban yang sebenarnya aku pikul.
Suatu hari, setelah pulang sekolah, aku berjalan kaki melewati taman kecil dekat rumah. Angin sore yang sejuk menyapu wajahku, membawa sedikit ketenangan. Di tengah perjalanan, aku melihat seorang wanita tua duduk sendirian di bangku taman. Rambutnya sudah memutih, dan wajahnya dipenuhi kerutan, tapi senyum yang terpancar darinya begitu hangat. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum kembali kepadanya.
“Anak muda,” panggil wanita itu ketika aku hendak berlalu, “maukah kamu duduk sebentar dengan nenek?”
Aku ragu sejenak, tapi ada sesuatu dalam cara dia memanggilku yang membuatku merasa nyaman. Aku mendekati bangku itu dan duduk di sebelahnya. Wanita tua itu menatapku dengan mata lembut, seolah-olah dia bisa melihat langsung ke dalam hatiku.
“Namamu siapa, Nak?” tanyanya lembut.
“Bella,” jawabku dengan sopan.
“Ah, Bella… Nama yang indah,” katanya sambil tersenyum, “Kamu terlihat seperti anak yang baik. Tapi nenek bisa melihat ada sesuatu yang mengganggumu. Kamu ingin bercerita?”
Aku terkejut. Bagaimana mungkin seorang yang baru aku temui bisa mengetahui perasaanku? Tapi kemudian aku berpikir, mungkin inilah saatnya aku berbicara. Mungkin, aku perlu mengeluarkan semua yang selama ini aku simpan rapat-rapat. Jadi, aku mulai bercerita kepada wanita tua itu tentang Ayah dan Ibu, tentang bagaimana setiap malam aku harus mendengar mereka bertengkar, dan bagaimana aku merasa seperti terperangkap di antara dua dunia yang berbeda dunia di sekolah di mana aku harus selalu tersenyum, dan dunia di rumah yang penuh dengan rasa sakit.
Wanita tua itu mendengarkan dengan penuh perhatian, tanpa menyela sedikit pun. Ketika aku selesai bercerita, air mataku sudah tidak bisa lagi aku tahan. Aku menangis terisak-isak, melepaskan semua emosi yang selama ini aku pendam. Wanita tua itu tidak berkata apa-apa, hanya meraih tanganku dan menggenggamnya erat.
“Anak manis,” katanya akhirnya dengan suara lembut, “Kamu memiliki hati yang besar. Tidak banyak anak seusiamu yang bisa bertahan dalam situasi seperti ini dan tetap berusaha menjadi baik seperti kamu. Nenek tahu, pasti berat bagi kamu. Tapi percayalah, setiap badai pasti akan berlalu.”
Aku menatapnya, mencoba memahami kata-katanya. “Tapi… bagaimana kalau mereka tidak berhenti bertengkar? Bagaimana kalau aku tidak bisa melakukan apa pun untuk mengubah keadaan?”
Wanita tua itu tersenyum, senyum yang penuh kebijaksanaan. “Terkadang, kita tidak bisa mengubah orang lain, Nak. Yang bisa kita lakukan adalah mengubah cara kita menghadapi situasi itu. Kamu tidak perlu merasa bertanggung jawab atas apa yang terjadi antara Ayah dan Ibumu. Mereka sedang melalui fase yang sulit, dan itu bukan kesalahanmu. Kamu hanya perlu tetap menjadi dirimu yang baik dan sabar. Jangan biarkan badai di sekitarmu mengubah siapa kamu sebenarnya.”
Kata-kata itu terasa begitu dalam. Aku tidak pernah berpikir bahwa aku bisa memandang situasi ini dari sudut pandang yang berbeda. Mungkin benar, aku tidak bisa mengendalikan apa yang terjadi di antara Ayah dan Ibu. Tapi aku bisa mengendalikan bagaimana aku meresponnya. Aku bisa memilih untuk tetap menjadi Bella yang ceria dan baik, meskipun dunia di sekitarku sedang kacau.
“Terima kasih, Nek,” kataku sambil mengusap air mataku. “Aku merasa sedikit lebih baik sekarang.”
Wanita tua itu tersenyum lagi. “Kamu anak yang kuat, Bella. Ingatlah, selalu ada cahaya di ujung terowongan. Kadang kita hanya perlu bersabar sedikit lebih lama untuk melihatnya.”
Aku mengangguk. Rasanya, beban di hatiku sedikit berkurang. Aku berpamitan kepada wanita tua itu dan melanjutkan perjalananku pulang. Ketika aku sampai di rumah, suasana masih sama. Ayah belum pulang, dan Ibu duduk di ruang tamu dengan wajah yang kusut. Aku merasa kasihan kepadanya, tapi kali ini, aku tidak lagi merasa harus memikul beban mereka.
Aku mendekati Ibu dan duduk di sampingnya. “Ibu, apa Ibu mau teh hangat?” tawarku dengan lembut.
Ibu menatapku dengan mata yang lelah, tapi kali ini dia tersenyum. “Terima kasih, Bella. Kamu anak yang sangat baik.”
Kata-kata Ibu itu, meskipun sederhana, memberikan kehangatan di hatiku. Mungkin, inilah caraku menghadapi semua ini dengan terus melakukan kebaikan kecil, meskipun dunia di sekitarku tidak selalu baik. Aku tahu, aku tidak bisa mengubah keadaan orang tuaku, tapi aku bisa tetap menjadi diriku yang penuh cinta dan sabar.
Malam itu, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku tidur dengan perasaan lebih tenang. Suara hujan masih turun di luar, tapi kali ini, aku merasa hujan itu bukan lagi tanda dari badai yang tak kunjung reda, melainkan tanda bahwa segala sesuatu akan bersih setelahnya. Aku hanya perlu bersabar.
Kebaikan Yang Tak Terbalas
Hari-hari berlalu, dan aku semakin paham bahwa dalam hidup, tidak semua kebaikan yang kita lakukan akan langsung berbuah manis. Kadang, kebaikan kita tidak dihargai, bahkan dilupakan. Namun, meski begitu, aku percaya bahwa kebaikan tidak pernah sia-sia. Setidaknya, aku selalu mencoba berpikir begitu, meskipun pada kenyataannya, hidupku semakin rumit dan menyesakkan.
Pagi itu, seperti biasa, aku bangun lebih awal untuk mempersiapkan segala sesuatu di rumah. Ayah sudah jarang sekali terlihat di rumah. Kehidupan kami semakin terasa sepi dan dingin. Ibu, yang dulu selalu penuh dengan keceriaan, kini lebih sering duduk termenung di ruang tamu, seolah tenggelam dalam pikirannya sendiri. Aku tahu bahwa keadaan ini semakin membuatnya rapuh, tapi setiap kali aku mencoba mendekat, dia akan menghindar dan menarik diri.
Setelah membuat sarapan dan membereskan rumah, aku memutuskan untuk berbicara dengan Ibu. Ada sesuatu dalam diriku yang mengatakan bahwa aku harus mencoba, meski hanya sedikit, untuk merangkulnya kembali.
“Ibu,” aku memulai dengan hati-hati, “Aku sudah buatkan teh hangat. Mungkin Ibu bisa duduk sebentar dan minum bersama aku.”
Ibu menatapku, tatapan matanya lelah dan penuh kebingungan. Dia tidak menjawab, tapi aku bisa melihat keraguan di wajahnya. Akhirnya, dia menghela napas panjang dan berkata, “Terima kasih, Bella. Tapi… Ibu merasa tidak ingin apa-apa sekarang.”
Aku hanya mengangguk, mencoba menerima penolakannya tanpa merasa sakit hati. Bagiku, itu bukan tentang bagaimana Ibu merespon kebaikan yang aku berikan, tapi tentang bagaimana aku bisa tetap bersabar dalam menghadapi semua ini. Dalam hati, aku terus berharap bahwa suatu hari, Ibu akan kembali seperti dulu hangat, penuh kasih, dan selalu ada untukku.
Ketika waktu berlalu, aku semakin sadar bahwa Ayah tidak akan kembali. Malam-malam berlalu tanpa kehadirannya, dan meskipun aku sudah terbiasa, ada satu bagian dari diriku yang masih berharap. Harapan kecil bahwa mungkin suatu hari, dia akan pulang, membawa kedamaian yang selama ini hilang dari rumah kami.
Suatu sore, ketika aku sedang berjalan pulang dari sekolah, aku bertemu dengan Nina. Senyumnya yang ceria selalu menjadi penenang bagiku. Dia tahu aku sedang tidak baik-baik saja, tapi seperti biasa, dia tidak bertanya terlalu banyak.
“Hei, Bella! Bagaimana harimu?” sapanya dengan riang.
Aku tersenyum lemah. “Baik, seperti biasa.”
“Benarkah?” Dia menatapku dengan penuh perhatian, seolah-olah tahu bahwa ada sesuatu yang tidak benar.
Aku mencoba tetap tersenyum, tapi hatiku terasa begitu berat. Akhirnya, aku tidak bisa lagi menahan perasaan yang sudah lama aku simpan. Air mata mengalir tanpa bisa aku cegah.
Nina langsung merangkulku, memelukku erat tanpa berkata apa-apa. Kehangatan pelukannya membuatku merasa aman, meskipun hanya sesaat. Aku menangis, meluapkan semua perasaan yang selama ini aku tahan. Perasaan kesepian, ketidakpastian, dan kebingungan yang selama ini mengisi hari-hariku.
“Kenapa semuanya terasa begitu sulit, Nina?” bisikku di sela-sela tangis. “Kenapa aku merasa seperti tidak ada yang peduli? Ayah sudah pergi, dan Ibu… Ibu seolah tidak lagi peduli padaku.”
Nina mengusap punggungku dengan lembut. “Bella, aku tidak bisa bayangkan betapa beratnya ini untukmu. Tapi aku tahu satu hal, kamu adalah orang yang luar biasa. Kamu selalu bersikap baik, bahkan ketika hidup tidak memberimu hal yang baik. Itu tidak mudah, dan kamu sangat kuat.”
Aku mengangguk pelan, mencoba meresapi kata-katanya. Tapi tetap saja, rasa sakit itu masih ada. Aku tahu Nina bermaksud baik, tapi terkadang, kata-kata tidak cukup untuk menghapus luka yang sudah terlalu dalam.
Beberapa minggu setelah percakapan itu, aku mencoba untuk lebih sabar menghadapi Ibu. Setiap hari, aku melakukan hal-hal kecil untuk membuatnya merasa diperhatikan. Aku akan menyiapkan sarapan, memastikan rumah tetap bersih, dan sesekali membelikannya bunga atau hal-hal kecil yang aku harap bisa membuatnya tersenyum.
Namun, tidak ada yang berubah. Ibu tetap diam, bahkan kadang-kadang semakin menjauh. Aku mulai merasa putus asa. Apa kebaikan yang aku lakukan ini benar-benar tidak berarti? Apakah semua usahaku sia-sia?
Suatu malam, saat aku sedang belajar di kamar, aku mendengar suara lembut dari luar pintu kamarku. Itu suara Ibu.
“Bella… apakah kamu masih terjaga?” tanyanya pelan.
Aku segera membuka pintu, terkejut melihat Ibu berdiri di sana dengan mata yang terlihat lelah. Ini pertama kalinya dalam beberapa minggu dia benar-benar mendekatiku.
“Iya, Bu. Ada apa?” tanyaku dengan cemas.
Ibu tidak langsung menjawab. Dia hanya memandangku dengan air mata yang mulai menggenang di matanya. “Maafkan Ibu, Bella… Maafkan Ibu yang selama ini tidak bisa menjadi ibu yang baik untukmu.”
Aku terpaku. Tidak pernah sekalipun terlintas dalam pikiranku bahwa Ibu akan meminta maaf. Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku hanya merasakan air mataku sendiri mulai jatuh.
“Ibu… tidak perlu minta maaf. Aku tahu semua ini berat untuk Ibu,” kataku dengan suara bergetar. Aku mencoba menahan isak tangis, tapi akhirnya aku menyerah dan menangis bersama Ibu.
Malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, kami berbicara dari hati ke hati. Ibu bercerita tentang rasa sakit yang dia alami sejak Ayah pergi, tentang bagaimana dia merasa begitu hancur dan tidak tahu bagaimana harus melanjutkan hidup. Dia bercerita tentang rasa bersalah yang dia rasakan karena tidak bisa menjadi ibu yang kuat untukku.
“Aku selalu merasa, aku tidak cukup kuat untuk melindungimu, Bella,” katanya dengan suara yang penuh kepedihan.
Aku menggeleng, menggenggam tangan Ibu dengan erat. “Ibu, aku tahu semua ini sulit. Tapi Ibu tetap ibu yang aku sayangi. Tidak ada yang berubah.”
Malam itu adalah titik balik bagi kami. Meskipun keadaan tidak langsung membaik, aku merasa ada harapan baru. Ibu mulai lebih sering berbicara denganku, dan meskipun kami belum bisa mengatasi semua masalah yang ada, setidaknya kami melaluinya bersama. Aku belajar bahwa terkadang, kebaikan yang kita berikan tidak langsung berbuah, tapi jika kita tetap bersabar, pada akhirnya, kebaikan itu akan kembali kepada kita, meskipun dalam bentuk yang tidak kita duga.
Dan meskipun hidupku masih jauh dari sempurna, aku merasa lebih kuat. Aku belajar bahwa kebaikan, meskipun sering kali tidak dihargai, tidak pernah sia-sia. Sabar dan tetap baik, itulah yang akan membimbingku melalui segala badai yang ada.