Dalam cerpen tentang moral yaitu “Sikap Della Menegaskan Tentang Moral,” kita akan menemukan kisah inspiratif seorang siswi SMA bernama Della yang berani menegur teman-temannya demi menjaga rasa hormat.
Melalui berbagai tantangan dan momen emosional, Della menunjukkan pentingnya integritas dan sikap hormat terhadap guru-guru yang telah berusaha keras demi kebaikan murid-muridnya.
Sikap Della Menegaskan Tentang Moral
Insiden di Kantin
Hari itu adalah hari Rabu yang biasa di SMA tempat Della bersekolah. Matahari bersinar terang, dan angin sepoi-sepoi membawa aroma dedaunan basah dari hujan semalam. Bel istirahat baru saja berbunyi, dan siswa-siswi berhamburan keluar kelas menuju kantin. Della dan teman-temannya berjalan beriringan sambil berbincang tentang pelajaran tadi.
Di kantin, suasana ramai seperti biasanya. Della dan teman-temannya memilih meja di pojok, tempat favorit mereka untuk berkumpul. Mereka duduk, memesan makanan, dan mulai mengobrol tentang rencana akhir pekan dan ujian yang akan datang. Tiba-tiba, suara tawa keras dari meja di sudut lain menarik perhatian mereka.
Della menoleh dan melihat beberapa teman sekelasnya sedang berkumpul. Rian, salah satu dari mereka, sedang menirukan gaya berjalan Pak Budi, guru matematika mereka, dengan cara yang sangat berlebihan dan tidak sopan. Teman-temannya tertawa terbahak-bahak melihat aksi Rian.
“Eh, lihat deh si Pak Budi itu, jalannya kayak robot rusak, hahaha!” seru Rian sambil berjalan dengan cara yang kaku dan aneh.
Tawa mereka menggema di seluruh kantin. Della merasa darahnya mendidih mendengar ejekan tersebut. Pak Budi adalah guru yang sangat sabar dan selalu berusaha memberikan yang terbaik bagi murid-muridnya. Bagaimana mungkin teman-temannya bisa begitu tidak hormat?
Dengan cepat, Della bangkit dari tempat duduknya. Wajahnya merah padam karena marah, tetapi ia berusaha menenangkan diri. Teman-temannya yang duduk di meja ikut terdiam, melihat Della berjalan menuju meja Rian dan teman-temannya.
“Hai, Rian,” sapa Della dengan suara tenang, meskipun dalam hatinya ia merasa sangat marah. “Kalian ngapain sih? Ngomongin Pak Budi kayak gitu nggak sopan banget.”
Rian dan teman-temannya terdiam sejenak, terkejut dengan keberanian Della yang langsung menegur mereka di depan umum. “Ah, Della, kita cuma bercanda kok. Nggak serius juga,” jawab Rian dengan nada defensif.
Della menghela napas, mencoba menahan amarahnya. “Mungkin bagi kalian itu cuma bercanda, tapi buat Pak Budi atau guru lain, itu bisa aja menyakitkan. Kita harusnya menghormati guru-guru kita, bukan malah ngeledekin mereka.”
Rian menatap Della dengan tatapan yang sulit dibaca. Teman-temannya juga tampak ragu dan sedikit malu. “Tapi, Dell, kita nggak bermaksud jahat kok. Cuma bercanda,” ujar salah satu dari mereka.
“Kalau kalian nggak bermaksud jahat, sebaiknya pikir dulu sebelum ngomong atau bertindak. Guru-guru kita udah banyak berkorban buat ngajarin kita. Sedikit rasa hormat itu nggak susah, kan?” kata Della dengan tegas.
Suasana di sekitar meja Rian menjadi hening. Semua mata tertuju pada Della, yang berdiri dengan penuh keberanian dan marah karena ketidakadilan yang dirasakannya. Rian akhirnya mengangguk perlahan. “Iya deh, Dell. Maaf, kita nggak mikir sampai situ. Nggak akan ngulangin lagi,” katanya dengan nada menyesal.
Della mengangguk, merasa sedikit lega. “Makasih, ya. Aku cuma pengen kita semua bisa saling menghormati, apalagi sama guru-guru yang udah banyak berjasa buat kita.”
Setelah berkata demikian, Della kembali ke mejanya. Teman-temannya menyambutnya dengan senyuman, dan salah satu dari mereka berkata, “Kamu hebat, Dell. Berani banget negur Rian di depan banyak orang.”
Della tersenyum kecil, meskipun dalam hatinya masih merasa sedikit marah dan terguncang. “Aku cuma nggak tahan denger mereka ngomongin Pak Budi kayak gitu. Aku harap mereka ngerti dan nggak ngulangin lagi.”
Hari itu, suasana di kantin kembali normal, meskipun ada sedikit ketegangan yang tersisa. Della berharap tindakannya bisa membuat teman-temannya lebih sadar akan pentingnya rasa hormat. Ia tahu bahwa kadang-kadang, untuk memperjuangkan yang benar, seseorang harus berani berbicara meskipun penuh risiko.
Ketika bel tanda masuk berbunyi, Della dan teman-temannya kembali ke kelas. Della merasa lega telah menegur Rian dan teman-temannya. Ia berharap kejadian ini akan menjadi pelajaran berharga bagi mereka semua.
Namun, dalam perjalanan ke kelas, Della masih merasa hatinya bergejolak. Ia tidak bisa menerima bagaimana seseorang bisa begitu tidak menghormati orang lain, terutama mereka yang telah memberikan begitu banyak untuk kita. Dalam hati, Della berjanji akan terus mengingatkan teman-temannya tentang pentingnya sikap moral yang baik dan rasa hormat kepada semua orang, terutama guru-guru yang sudah banyak berjasa.
Dengan tekad yang semakin kuat, Della melangkah masuk ke kelas, siap menghadapi pelajaran berikutnya dengan hati yang penuh semangat dan keyakinan bahwa ia telah melakukan hal yang benar.
Sebuah Teguran Della
Keesokan harinya, suasana kelas terasa agak tegang. Meski Rian dan teman-temannya telah meminta maaf, Della masih merasa ada yang mengganjal. Ia tidak suka bagaimana teman-temannya bisa dengan mudah melupakan rasa hormat terhadap guru-guru mereka. Hal ini terus mengganggu pikirannya sepanjang pelajaran.
Saat istirahat tiba, Della berjalan menuju kantin dengan perasaan yang campur aduk. Ia berharap kejadian kemarin bisa menjadi pelajaran bagi semua, tetapi rasa marah masih mengganjal di hatinya. Di kantin, ia melihat Rian dan teman-temannya duduk di meja yang sama seperti kemarin. Mereka terlihat asyik berbicara dan tertawa, tetapi kali ini Della tidak ingin berkonfrontasi di depan banyak orang.
Dengan tenang, Della mendekati meja mereka dan mengajak Rian berbicara secara pribadi. “Rian, boleh kita bicara sebentar di luar?” tanyanya dengan suara tenang tapi tegas.
Rian, yang terkejut dengan permintaan itu, mengangguk dan mengikuti Della ke sudut kantin yang lebih sepi. “Ada apa, Dell?” tanyanya dengan sedikit ragu.
Della menatap Rian dengan serius. “Aku masih merasa nggak enak dengan kejadian kemarin. Kamu tahu kan, kita harus lebih menghormati guru-guru kita?”
Rian menghela napas, merasa sedikit frustasi. “Dell, aku sudah minta maaf, kan? Aku nggak bermaksud jahat. Kita cuma bercanda.”
Della menggelengkan kepala. “Rian, kamu harus ngerti kalau bercanda yang merendahkan orang lain, terutama guru, itu nggak lucu. Mereka udah banyak berkorban buat kita. Bayangin kalau kamu di posisi mereka, pasti kamu juga nggak mau diperlakukan kayak gitu.”
Rian terlihat bingung dan sedikit marah. “Kenapa kamu marah banget, sih? Aku nggak ngerti kenapa masalah kecil ini jadi besar.”
Della merasakan amarahnya kembali memuncak. “Masalah kecil? Ini bukan masalah kecil, Rian. Ini tentang rasa hormat. Kalau kita nggak bisa menghormati guru kita, gimana kita bisa berharap orang lain menghormati kita?”
Rian terdiam, menatap Della dengan tatapan yang sulit dibaca. Ia tahu Della benar, tetapi egonya merasa tersinggung. “Oke, Dell. Aku ngerti. Aku akan coba lebih menghormati mereka. Tapi kamu juga harus ngerti, kita nggak selalu serius. Kadang kita butuh bercanda untuk melepas stress.”
Della mengangguk perlahan, mencoba menahan amarahnya. “Aku ngerti, Rian. Bercanda itu nggak salah, tapi ada batasannya. Kalau sampai merendahkan orang lain, itu udah bukan bercanda lagi.”
Rian menghela napas panjang dan mengangguk. “Iya, Dell. Aku ngerti sekarang. Maaf kalau aku bikin kamu marah.”
Della menghela napas lega. “Terima kasih, Rian. Aku cuma pengen kita semua bisa lebih baik. Kita bisa bercanda tanpa harus merendahkan orang lain.”
Mereka kembali ke meja masing-masing dengan perasaan campur aduk. Della merasa lega telah menyampaikan apa yang ada di hatinya, meskipun masih ada sedikit kekhawatiran tentang bagaimana teman-temannya akan bereaksi di masa depan.
Setelah istirahat, pelajaran kembali dimulai. Pak Budi masuk ke kelas dengan senyuman ramahnya, seperti biasa. Della merasa sedikit lebih tenang melihat Pak Budi, dan ia berharap teman-temannya juga bisa melihat betapa baiknya guru mereka.
Saat pelajaran berlangsung, Della mencoba fokus pada materi yang diajarkan. Namun, pikirannya masih sedikit terganggu dengan kejadian di kantin tadi. Ia berharap Rian benar-benar memahami apa yang ia sampaikan dan bisa menjadi contoh yang baik bagi teman-temannya.
Ketika bel tanda pulang berbunyi, Della merasa lega. Ia berkemas dan berjalan keluar kelas. Di pintu gerbang, Rian mendekatinya. “Dell, aku mau ngomong sesuatu,” katanya dengan ragu.
Della berhenti dan menatap Rian. “Ada apa, Rian?”
Rian menghela napas, lalu berkata, “Aku udah mikir-mikir, dan kamu benar. Kita harus lebih menghormati guru-guru kita. Aku bakal coba lebih baik lagi, dan aku harap teman-teman juga bisa ngikutin.”
Della tersenyum kecil. “Makasih, Rian. Aku senang kamu ngerti. Kita semua harus belajar untuk lebih baik.”
Rian tersenyum kembali. “Iya, Dell. Terima kasih udah ngingetin aku. Kamu bener-bener teman yang peduli.”
Mereka berpisah dengan perasaan lega. Della merasa puas karena akhirnya bisa menyampaikan apa yang ada di hatinya dan melihat perubahan sikap dari Rian. Meski marah dan frustasi, Della tahu bahwa ia melakukan hal yang benar. Ia berharap bahwa kejadian ini bisa menjadi pelajaran berharga bagi mereka semua tentang pentingnya rasa hormat dan sikap moral yang baik.
Dengan langkah yang lebih ringan, Della pulang ke rumah. Ia merasa bahwa setiap tindakan kecil yang ia lakukan bisa membawa perubahan yang lebih besar. Della tahu bahwa perjalanan ini masih panjang, tetapi ia siap menghadapi setiap tantangan dengan hati yang kuat dan penuh keyakinan. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk terus menjaga sikap dan moral, serta mengingatkan teman-temannya akan hal yang sama.
Sebuah Perubahan Sikap
Hari-hari setelah percakapan serius Della dengan Rian berlalu dengan cukup tenang. Della berharap bahwa kata-katanya telah meninggalkan kesan yang mendalam pada teman-temannya. Namun, ia tidak bisa mengabaikan perasaan cemas yang kadang-kadang muncul ketika melihat Rian dan kelompoknya berbicara di sudut kelas atau kantin.
Suatu pagi, Della merasa suasana kelas agak berbeda. Ada bisik-bisik dan tawa tertahan yang membuatnya merasa tidak nyaman. Ketika Pak Budi masuk ke kelas, suasana menjadi hening seketika. Pak Budi mulai mengajar seperti biasa, tetapi Della melihat ada sesuatu yang mengganggu beliau.
Tiba-tiba, salah satu murid, Doni, yang duduk di belakang kelas, mengeluarkan suara aneh. “Eh, Pak Budi, jalannya kenapa kayak robot gitu sih?” tanyanya dengan nada mengejek. Suara tawa pecah di sudut kelas tempat Rian dan teman-temannya duduk.
Pak Budi berhenti sejenak, menatap Doni dengan ekspresi datar. “Doni, tolong jaga sikapmu. Kita di sini untuk belajar, bukan untuk mengejek orang lain,” katanya dengan tenang, tetapi tegas.
Della merasa darahnya mendidih. Ia merasa marah, tidak hanya karena ejekan yang tidak pantas itu, tetapi juga karena rasa tidak hormat yang ditunjukkan teman-temannya. Ia tidak bisa tinggal diam lagi. Setelah pelajaran selesai, Della langsung mendekati Rian dan teman-temannya yang masih tertawa-tawa.
“Rian, Doni, apa-apaan sih kalian tadi? Kenapa kalian masih aja nggak bisa hormat sama Pak Budi?” Della bertanya dengan nada marah yang ia coba kendalikan.
Rian menoleh dengan tatapan tidak senang. “Dell, kamu berlebihan deh. Kita cuma bercanda. Lagipula, Pak Budi juga nggak marah kan?”
Della menatap Rian tajam. “Cuma bercanda? Kalian pikir apa yang kalian lakukan itu bercanda? Itu namanya menghina. Kalian nggak lihat gimana ekspresi Pak Budi tadi? Beliau mungkin nggak marah, tapi jelas kelihatan kalau beliau terluka.”
Doni yang mendengar percakapan itu ikut angkat bicara. “Dell, kamu terlalu serius. Kita ini anak muda, wajar kan kalau suka bercanda?”
Della merasa marahnya semakin memuncak. “Anak muda? Itu bukan alasan buat nggak menghormati orang lain, apalagi guru. Kalian harusnya tahu batasan antara bercanda dan menghina.”
Rian mulai merasa terganggu dengan sikap Della. “Dell, kamu nggak perlu ceramahin kita terus. Kita tahu kok apa yang kita lakukan.”
Della menggelengkan kepala, merasa kecewa dan marah. “Kalau kalian tahu, kalian nggak akan terus ngulangin hal yang sama. Aku cuma pengen kalian sadar, ini bukan cuma soal kalian atau Pak Budi. Ini soal kita semua. Kalau kita nggak bisa saling menghormati, gimana kita bisa hidup bareng di sekolah ini?”
Rian dan teman-temannya terdiam. Kata-kata Della mengandung kebenaran yang sulit mereka tolak. Mereka mulai merasa bersalah, meskipun masih ada ego yang menghalangi untuk sepenuhnya mengakui kesalahan mereka.
“Dell, aku ngerti maksud kamu. Maaf kalau kita bikin kamu marah. Tapi, coba deh, kasih kita waktu buat berubah. Kita nggak bisa langsung berubah secepat itu,” kata Rian akhirnya, dengan nada yang lebih tenang.
Della menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. “Aku cuma pengen kita semua lebih baik. Nggak ada yang salah dengan bercanda, tapi kita harus tahu kapan dan bagaimana caranya.”
Percakapan itu berakhir dengan suasana yang sedikit lebih tenang, meskipun ketegangan masih terasa. Della merasa sedikit lega karena sudah menyampaikan apa yang ia rasakan, meskipun ia tahu perubahan tidak akan terjadi dalam semalam.
Hari berikutnya, Della melihat Rian dan teman-temannya lebih berhati-hati dalam berbicara dan bersikap. Mereka tidak lagi mengejek guru-guru secara terbuka. Meskipun belum sepenuhnya berubah, ada sedikit harapan dalam hati Della bahwa mereka mulai memahami pentingnya sikap hormat.
Namun, Della tahu bahwa perjalanannya belum selesai. Ia bertekad untuk terus mengingatkan teman-temannya dan menjaga sikapnya sendiri sebagai contoh. Ia sadar bahwa perubahan membutuhkan waktu dan kesabaran, tetapi ia siap menghadapi tantangan itu.
Dengan tekad yang kuat dan hati yang penuh semangat, Della melangkah ke depan, siap untuk menghadapi hari-hari berikutnya dengan keyakinan bahwa ia telah melakukan hal yang benar. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk terus berjuang demi nilai-nilai yang ia yakini, dan tidak akan pernah menyerah dalam menghadapi tantangan moral di sekitarnya.
Penghargaan dan Kebanggaan
Suasana pagi di sekolah tampak cerah, namun hati Della tidak secerah cuaca hari itu. Ia merasa cemas setelah insiden di kelas beberapa hari yang lalu. Meski ada sedikit perubahan dalam sikap teman-temannya, Della masih merasa marah dan kecewa. Ia merasa bahwa teman-temannya belum sepenuhnya memahami pentingnya rasa hormat terhadap guru.
Ketika Della tiba di sekolah, ia melihat kerumunan siswa di lapangan. Ternyata hari itu ada upacara penghargaan untuk siswa berprestasi dan guru teladan. Della berjalan menuju lapangan dengan perasaan campur aduk, berharap bahwa acara ini bisa sedikit mengalihkan pikirannya dari rasa marah yang masih mengganjal.
Upacara dimulai, dan kepala sekolah, Pak Rahmat, naik ke podium. “Selamat pagi, siswa-siswi sekalian. Hari ini kita akan memberikan penghargaan kepada mereka yang telah menunjukkan prestasi dan dedikasi luar biasa di sekolah kita. Mari kita mulai dengan penghargaan untuk siswa berprestasi,” katanya dengan suara lantang.
Nama-nama siswa yang berprestasi satu per satu dipanggil ke depan untuk menerima penghargaan. Della bertepuk tangan bersama teman-temannya, meskipun hatinya masih berat. Ketika giliran penghargaan untuk guru teladan, Pak Budi disebut sebagai salah satu penerima penghargaan.
Della merasa lega dan bangga. Pak Budi naik ke podium dengan senyum ramah, menerima penghargaan dari kepala sekolah. Namun, saat Pak Budi mulai berbicara, suasana yang damai itu tiba-tiba pecah oleh suara tawa dari sudut lapangan.
“Haha, Pak Budi dapat penghargaan karena jalannya kayak robot!” seru seorang siswa dengan nada mengejek. Tawa beberapa siswa lainnya mengikuti.
Hati Della langsung tersulut. Amarah yang selama ini ia tahan-tahan kembali memuncak. Bagaimana mungkin mereka bisa begitu tidak hormat di depan semua orang? Della melihat Rian dan teman-temannya, yang tampaknya terlibat dalam ejekan itu, tertawa-tawa dengan santai.
Pak Budi terdiam sejenak di atas podium, jelas merasa terganggu. Namun, dengan ketenangan yang luar biasa, ia melanjutkan pidatonya tanpa menunjukkan rasa marah. Della merasa kagum sekaligus marah. Kagum dengan ketenangan Pak Budi, tetapi marah dengan sikap teman-temannya yang begitu tidak hormat.
Setelah upacara selesai, Della langsung mendekati Rian dan teman-temannya. Wajahnya merah padam karena marah. “Rian! Doni! Kalian nggak punya perasaan apa? Kalian lihat nggak gimana Pak Budi tetap tenang meskipun kalian ejek di depan semua orang?”
Rian mencoba tersenyum, tapi senyum itu tidak bertahan lama melihat kemarahan di mata Della. “Dell, kita cuma bercanda. Pak Budi juga nggak marah, kan?”
Della hampir tidak bisa menahan dirinya. “Kalian pikir Pak Budi nggak marah karena dia nggak menunjukkan kemarahannya? Itu yang namanya profesionalisme. Tapi hati dia? Kalian nggak tahu gimana perasaan dia! Kalian udah berkali-kali aku ingetin untuk lebih menghormati, tapi kalian tetap aja nggak peduli.”
Doni mencoba membela diri. “Dell, santai aja. Ini sekolah, bukan tempat serius-seriusan terus.”
Della menggelengkan kepala dengan frustrasi. “Santai? Ini bukan soal santai atau serius. Ini soal rasa hormat. Pak Budi dan semua guru di sini udah berusaha keras buat kita. Sedikit rasa hormat dari kita itu hal yang wajar. Kalau kalian nggak bisa menghargai itu, kalian sama aja nggak menghargai diri sendiri.”
Rian dan Doni mulai terdiam. Kata-kata Della terasa menohok dan sulit dibantah. Mereka melihat ketulusan dan kemarahan yang mendalam di mata Della, menyadari bahwa mereka telah melampaui batas.
Della menghela napas, mencoba menenangkan dirinya. “Aku cuma minta satu hal. Mulai sekarang, coba hargai orang lain, terutama guru-guru kita. Mereka nggak pantas diperlakukan seperti itu. Kita bisa bercanda, tapi jangan dengan cara yang merendahkan.”
Rian mengangguk pelan. “Maaf, Dell. Aku ngerti sekarang. Kita terlalu jauh. Aku janji, nggak akan ngulangin lagi.”
Della melihat ke dalam mata Rian dan Doni, berharap mereka benar-benar memahami. “Oke. Aku harap kalian serius dengan janji kalian. Ini penting, bukan cuma buat kalian, tapi buat kita semua.”
Hari itu, Della merasa sedikit lega, meskipun marah dan kecewa masih membekas. Ia tahu bahwa perubahan tidak akan datang dalam semalam, tetapi ia berharap bahwa teman-temannya akan mulai menghargai dan menghormati orang lain.
Malamnya, ketika Della sampai di rumah, ia menceritakan kejadian hari itu kepada orang tuanya. Ibunya mendengarkan dengan seksama dan berkata, “Kamu sudah melakukan yang benar, Della. Terkadang, orang butuh diingatkan berkali-kali sebelum mereka benar-benar berubah. Yang penting, kamu tidak menyerah untuk melakukan hal yang benar.”
Della tersenyum dan merasa sedikit lebih tenang. Ia tahu bahwa perjuangannya untuk menjaga sikap moral dan rasa hormat tidak akan mudah, tetapi ia siap untuk terus berusaha. Dalam hati, Della berjanji untuk selalu berdiri teguh pada nilai-nilai yang ia yakini, dan menjadi contoh yang baik bagi teman-temannya.
Dengan tekad yang semakin kuat, Della menutup matanya dan berdoa agar diberi kekuatan untuk terus melakukan hal yang benar. Ia tahu bahwa perjalanan ini masih panjang, tetapi ia siap menghadapi setiap tantangan dengan hati yang penuh semangat dan keyakinan.
Cerpen tentang moral yaitu “Sikap Della Menegaskan Tentang Moral” mengajarkan kita bahwa keberanian untuk menegakkan kebenaran dan sikap hormat adalah hal yang sangat penting, terutama di lingkungan sekolah.
Della, dengan keteguhan hati dan ketulusannya, berhasil menunjukkan bahwa sikap moral yang baik bukan hanya tentang diri sendiri, tetapi juga tentang bagaimana kita memperlakukan orang lain.